Kamis, 16 Mei 2013

"Kiri Katanya"


Kiri Katanya?
(Sebuah Goresan Pemikiran)
            Istilah kiri mungkin tidak memiliki defenisi yang begitu jauh dalam pandangan secara umum. Kiri secara umum diartikan sebuah sisi yang berseberangan dengan kanan. Namun dalam istilah politik, kiri memiliki arti yang sangat mendalam dan kompeks. Istilah kiri sering diidentikan sebagai sebuah paham/ ideologi yang berhubungan dengan sosialisme ataupun komunimse. Jadi tidak heran apabila orang- orang yang menganut paham tersebut biasa disebut sebagai orang kiri. Sedangkan orang- orang yang tidak sepaham dengan ideologi tersebut di golongkan kedalam kelompok kanan. Kelompok kanan menitikberatkan liberalisme sebagai dasar pemahamannya. Dalam tatanan ideologi politik, kelompok kanan dan kelompok kiri selalu mengalami kontradiksi pemahaman satu sama lainnya. Sebagai contohnya, dalam tatanan perang dingin kelompok yang termasuk dalam kelompok kiri adalah negara- negara yang tergabung dalam blok timur yang di motori oleh Uni Soviet. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok kanan adalah negara- negara yang tergabung dalam blok barat dengan Amerika Serikat sebagai motor penggeraknya.
            Namun pada hakikatnya, istilah kiri dalam politik tidak serta merta ada begitu saja, melainkan mengalami perjalanan yang panjang. Menurut beberapa literatur yang pernah saya baca, istilah kiri dalam politik bermula dari peristiwa pengaturan tempat duduk di ruangan anggota legislatif  pada masa revolusi prancis. Mereka yang mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintahan monarki prancis pada saat itu duduk berkumpul di bagian kanan ruangan. Sedangkan mereka yang melakukan penolakan kebijakan pada saat itu duduk berkumpul di kiri ruangan. Selebihnya mereka yang bisa dikatakan tidak mempunyai pilihan yang pasti memilih untuk duduk berkumpul di tengah ruangan. Kelompok terakhir inilah yang kemudian di juluki sebagai kelompok moderat. Jadi atas dasar pengaturan tempat duduk inilah kemudian muncul istilah kelompok kiri, kelompok tengah dan kelompok kanan. Namun dalam perkembangannya, istilah kiri dan kanan dalam politik tidak lagi hanya sebatas permasalahan yang disebutkan diatas melainkan sudah mengacu pada hal- hal yang lebih komplek, misalnya pada tatanan ideologi- ideologi politik.
            Dalam perkembangan nya istilah kiri cenderung di kaitkan terhadap marxisme. Marxisme dinilai mampu mewakili defenisi kiri karena teorinya mengenai perjuangan kelas proletar. Gambaran umum marxisme menjelaskan bahwa kaum yang termarjinalkan (yang disebut sebagai proletar/buruh, petani kecil, rakyat jelata) tidak semestinya mengalami penderitaan. Akan tetapi penderitaan yang dialami kaum proletar tersebut adalah akibat dari ketamakan beberapa orang yang memiliki modal untuk mensejahterahkan hidupnya sendiri (marxisme menyebutnya sebagai kaum borjuis). Faktor yang menetukan nasib kedua kelas sosial masyarakat tersebut adalah kepemilikan terhadap alat produksi. Mereka yang memiliki modal (kapital) mempunyai kemampuan untuk memiliki alat produksi yang mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan mereka yang tidak mempunyai modal tidak dapat memiliki alat produksi dan hanya dapat menjadi pekerja yang bermodalkan tenaga fisik mereka saja. Penderitaan mereka tidak hanya pada hal itu saja, melainkan juga perlakukan yang tidak manusiawi dari pemilik modal yang memberi upah murah dan jam kerja yang sangat tinggi. Penindasan yang dialami kaum proletar tidak hanya meliputi penindasan secara fisik melainkan juga penindasan secara psikis, dimana kaum proletar teralienasi dari lingkungan sosialnya. Sehingga jalan yang ditawarkan marxisme untuk melepaskan kaum proletar dari penindasan tersebut adalah dengan cara melakukan perlawanan terhadap pemilik modal yang di istilahkan sebagai revolusi sosial.
            Namun dalam pemahaman yang lebih modern seperti sekarang ini pengertian kiri mengalami perkembangan yang semakin luas. Jika pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa kiri cenderung terhadap marxisme/komunisme yang cenderung anti terhadap agama, justru sekarang pengertian kiri tidak hanya terjebak kedalam hal- hal tersebut semata. Sebagai contoh, istilah kiri sekarang sangat populer digunakan terhadap orang- orang yang menolak kapitalisme ataupun hegemoni ekonomi seperti yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat. Tak heran apabila orang-orang yang menolak politik luar negeri amerika seperti misalnya Fidel Castro, Hugo Chavez, Erick Morales, Ahmaddinejad, ataupun Lula (mantan presiden brazil) dikatakan sebagai orang- orang kiri. Ini berkaitan terhadap sikap mereka terhadap penolakan atas hegemoni ekonomi yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat terhadap dunia global.
            Di indonesia sendiri, istilah kelompok kiri merupakan suatu istilah yang tentunya tidak asing lagi. Tak bisa dipungkiri bahwa kemerdekaan negara ini di pelopori oleh orang- orang kiri. Soekarno, Hatta, Syahrir misalnya, adalah founding fathers bangsa ini yang notabene adalah orang- orang kiri. Sikap mereka yang anti penjajahan dan jiwa sosial mereka yang tinggi yang membuat meraka di katakan kiri. Namun pasca pertengahan tahun 1965 yang juga masa berakhirnya orde lama, istilah kiri mulai di negatafisasi terhadap hal- hal yang berbau kekerasan dan kejahatan yang dihubung-hubungkan terhadap gerakan satu oktober. Hal inilah yang kemudian menghembuskan citra orang kiri sebagai orang yang hanya mempunyai jiwa pemberontakan dan tidak mempunyai aturan. Singkatya istilah kiri mulai dikreditkan terhadap hal- hal yang berbau negatif semata.
            Namun dalam pemahaman saya, istilah kiri tidak hanya terpenjara terhadap dogma- dogma pemikiran tertentu saja. Kiri merupakan sebuah peikiran dan sikap yang diambil seseorang ataupun sekelompok orang untuk anti terhadap penindasan baik itu penindasan berupa sistem maupun penjajahan dalam bentuk fisik. Bagaimanupun juga orang- orang yang melawan terhadap tindak- tanduk penindasan dapat dikatakan sebagai orang- orang kiri karena mereka idak menginginkan adanya penguasaan orang terhadap yang lainnya. Orang- orang kiri tidak berfikir secara reaksioner yang hanya spontanitas terhadap sebab akibat suatu permasalahan melainkan berpikir dan bertindak secara terorganisir melakukan perlawanan yang bersifat radikal demi sebuah perubahan keadaan sosial yang lebih baik.
            Namun dalam kehidupan sekarang ini kita banyak menemui mereka yang tiba- tiba mengaku kiri tanpa mengetahui esensi kiri iu apa. Ada lagi mereka yang hanya berpikir kiri tapi tidak mampu bertindak untuk merepresentasikan pemikirannya tersebut. Atau mereka yang bertindak secara reaksioner tanpa mempunyai radikalisasi pemikiran dan tindakan. Hal ini lah yang kemudian menumbuhkan kiri- kiri gadungan dalam kehidupan sosial.

Jumat, 11 Januari 2013

Negara, Demokrasi, dan Keadilan Sosial (Suatu Komparasi Antara Konsepsi Liberalis/Kapitalis dan Komunisme)


Negara, Demokrasi, dan Keadilan Sosial
(Suatu Komparasi Antara Konsepsi Liberalis/Kapitalis dan Komunisme)
           
Negara, demokrasi dan keadilan sosial adalah sebuah permasalahan koheren yang saling berkaitan satu sama lainnya. Negara bertindak sebagai subjek, demokrasi sebagai alat, dan keadilan sosial adalah yang menjadi tujuannya.Namun dalam melihat ketiga hal diatas tentulah menghadirkan pandangan yang beragam.Hal ini disebabkan karena dalam melihat ketiga hal di atas tentulah setiap pandangan/prespektif mempunyai tolak ukurnya masing-masing.Tulisan ini mencoba untuk memaparkan bagaimana perbandaingan antara konsepsi/prespektif  liberalis/kapitalis dengan komunisme.
Konsepsi Liberalis/Kapitalis
            Konsepsi liberalis/kapitalis mengedepankan pokok-pokok kebebasan individu, persaingan secara bebas (kompetisi), dan kebebasan terhadap kepemilikan.Huszar dan Stevenson dalam karya monumentalnya “political science” mengutarakan bahwa konsepsi liberalism tidak pernah terlepas dari pengaruh teori John Locke (1632- 1704).John Locke mengemukakan bahwa manusia itu diberi oleh alam hak-hak tertentu.Sehingga diperlukan sebuah jaminan untuk menjaga hak-hak tersebut.John Locke melihat bahwa hak-hak tersebut harus dijamin secara utuh dan sah, sehingga diperlukan konstitusi untuk mengakomodirnya yang dilindungi oleh pemerintah.Negara dalam hal ini merupakan sebuah asosiasi dari kumpulan individu yang mendapat mandat dari semua rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan. John locke kemudian menuangkan pemikirannya tersebut dalam teori kontrak sosial.
            Secara sederhana teori kontrak sosial menjelaskan bahwa seluruh rakyat melakukan perjanjian (diikuti dengan penyerahan mandat) terhadap sekelompok orang yang dipercayai dapat untuk mengatur proses kehidupan mereka. Namun teori ini tidak serta-merta menyerahkan mandat/kepercayaan tersebut kepada satu lembaga kekuasaan tunggal. Kekuasaan harus dibagi-bagi kedalam beberapa lembaga yang saling menguasai satu sama lainnya. Dan rakyat selalu dilibatkan dalam pengambilan keputusan melalui wakil-wakilnya. Hal-hal diatas diperlukan untuk mengindari sentralisasi dan monopoli kekuasaan yang dapat mengarah pada kediktatoran ataupun pemerintahan yang bersifat tiran.
            Dalam bidang ekonomi liberalisme menitikberatkan pada teori Adam smith (1723-1790) yang mengemukakan bahwa dalam masyarakat itu diatur oleh hukum-hukum tertentu, yaitu supply dan demand, yang dapat menjamin kemakmuran tiap-tiap individu.[1]Dengan demikian, sebagai konsekwensinya Negara /pemerintah tidak diperbolehkan untuk mencampuri perekonomian nasional.Negara bertindak sebagai penonton dan hanya harus melindungi hak-hak dari setiap individu.Setiap individu melakukan pekerjaan atau usahanya berdasarkan kepentingannya masing masing.Karena individu diberi kebebesan-kebebasan tersebut maka persaingan ataupun kompetisi menjadi sebuah keharusan dalam konsepsi liberalis tersebut.
            Persaingan yang terjadi antara setiap individu menyebabkan setiap individu mempunyai keinginan untuk menguasai satu sama lainnya. Keinginan untuk berkuasa atas yang lain tersebut menghalalkan segala cara termasuk dengan cara menindas yang satu terhadap yang lainnya. Dalam dunia industrialisasi, kekuatan ekonomi sangat bergantung terhadap kepemilikan terhadap alat produksi.Ini disebabkan karena alat produksi menciptakan sebuah efesiensi kerja dalam mencapai hasil produksi yang lebih maksimal.Inilah yang kemudian menciptakan istilah “surplus value” terhadap penguasaan alat produksi.Untuk memiliki alat produksi faktor modal/kapital menjadi faktor yang paling utama.Dimana kapital sangat berpengaruh terhadap jumlah alat produksi yang dikuasai dan pengembangan terhadap jaringan usaha.Oleh sebab itu kepemilikan terhadap modal berpengaruh besar terhadap penguasaan terhadap system ekonomi.System ekonomi seperti inilah yang dinamakan sebagai kapitalisme.
            Francis fukuyama, seorang sosiolog keturunan Amerika Jepang dalam karyanya “The End of History and The Last Man” mengungkakpkan bahwa persaingan ideology pasar dan politik antara kapitalisme dan komunsime telah berakhir. Dan kapitalisme lah yang menjadi pemenang.Demokrasi liberal mungkin merupakan “titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia” dan “bentuk final pemerintahan manusia” sehingga “ia bisa disebut sebagai akhir sejarah”.[2]Fukuyama jelas merujuk pada apa yang terjadi belakangan ini. Pertama Fukuyama merujuk pada perekonomian dunia yang sekarang lebih dikuasai oleh Negara-negara yang menerapkan system ekonomi liberal.Negara yang menerapkan system ekonomi liberal memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Negara yang tidak menerapkannya.Kedua Fukuyama melihat bahwa Negara-negara induk komusnis seperti rusia dan china mulai mengarahkan system ekonominya yang lebih liberal. Ini diartikan oleh fukuyama sebagai bentuk system ekonomi komunisme tersebut. Dan yang ketiga Fukuyama melihat bahwa pasca perang dunia II mayoritas Negara di dunia lebih menerapkan system pemerintahan yang bersifat demokratis. Dan rezim-rezim pemerintahan tiran mulai berjatuhan satu-persatu. Ketiga hal pokok diataslah kemudian yang membuat fukuyama mengambil kesimpulan bahwa cerita dalam mencari system ekonomi terbaik telah berakhir karena kapitalisme telah hadir sebagai jawabannya. Dan orang-orang yang menerapkan system kapitalisme adalah orang yang akan bertahan hingga akhir untuk menguasai system ekonomi tersebut.
            Mengenai pandangan Fukuyama tersebut, penulis mempunyai pandangan yang berbeda.Menerut penulis Fukuyama mungkin telah berfikir bahwa bumi telah kiamat saat ini juga.Atau dia mungkin dia terlalu terobsesi dalam mengutarakan buah-buah pemikirannya.Sehingga dia terlalu menggebu-gebu untuk mengakhiri cerita persaingan antara konsepsi liberalis dan komunis.Pendapat Fukuyama mengenai pergerakan system ekonomi Negara komunis kea rah yang lebih liberal jelas tidak dapat dielakan.Namun hal itu tidak serta merta dapat dijadikan kesimpulan bahwa komunsime telah habis dan kapitalis masih eksis.Apakah Fukuyama tidak melihat bagaimana eropa (khususnya eropa barat) dan Amerika serikat juga telah goya pada prinsip liberalisnya?Kebijakan subsidi silang yang diambil oleh Negara-negara yang berhaluan liberal jelas juga menunjukan bahwa liberalis tidak mampu menjawab persoalan yang ditimbulkan dari persaingan usaha tersebut.Dalam persaingan tersebut jelas ada yang menang dan ada yang kalah.Untuk menjaga agar kelangsungan perekonomian Negara tetap berjalan maka subsidi silang diperlukan untuk menjaga stabilitas antara sikaya dan simiskin tersebut.ide subsidi silang tersebut jelas merupakan sesuatu yang sangat bertolak belakang terhadap ide liberalis yang menolak peran Negara dalam mengatur perekonomian nasional.Masalah perbandingan tingkat pertumbuah ekonomi juga merupakan sesuatu yang harus dianalisis secara mendetail.Tingkat pertembuhan ekonomi yang dialami oleh Negara liberal merupakan sesuatu yang berjalan ditaraf makro yaitu kepada pengusaha dengan modal yang besar.Tapi di tingkat mikro keadaannya masih sangat memprihatinkan.Jadi menurut pandangan penulis masih terlalu dini untuk mengakri cerita pertarungan eksistensi anatara liberalis dan komunis.
            Liberalisme melihat dalam politik setiap individu harus diberi kebeasan untuk terlibat terhadap kebijakan dalam ruang lingkup pemerintahan baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang telah mereka pilih.Dengan demikian, liberalisme melihat bahwa demokrasi adalah system pemerintahan yang terbaik. Ini disebabkan karena demokrasi member kesempatan yang sama terhadap setiap individu untuk memerintah dan diperintah. Demokrasi juga tidak membedakan terhadap latar belakang seseorang untuk memasuki ranah pemerintahan.Dengan demikian dalam bidang politik demokrasi telah memenuhi unsure kebebasan individu dan egaliter.
            Liberalisme melihat bahwa dengan demokrasi setiap individu diperlakukan secara sama dan seimbang. Sebagai contoh dalam sebuah proses pemilihan umum setiap individu mempunyai hak suara yang sama. Baik itu seorang professor ataupun orang yang tak berpendidiakan, kaya dan miskin, orang kota dan orang desa mempunyai hak yang sama yaitu sama-sama diberikan hak untuk menggunakan satu suara. Dengan kesempatan yang sama tersebut maka demokrasi seolah olah menjelma menjadi sebuah system pemerintahan yang adil dan dianggap paling ideal untuk diterapkan disebuah Negara.Namun apa yang telah diuraikan tersebut merupakan sebuah pemaparan ide demokrasi yang diliaht secara normative.
            Jika kita melihat secara empiris maka sesungguhnya kita dapat melihat bahwa apa yang terjadi terhadap demokrasi sekarang sangatlah bersinggungan terhadap kepemilikan modal. Praktek demokrasi sekarang jelas dapat dilihat berakhir pada hasil penentuan suara (voting) dibandingkan dengan musyawarah yang menghasilkan kesepahaman bersama.Tidak aka nada demokrasi tanpa partai politik.Karena partai politik merupakan wadah bagi setiap individu untuk menyampaikan aspirasinya.Jadi partai politik merupakan instrument yang sangat penting dalam partai politik.Sekarang mari kita lihat bagaimana konsesnsus partai politik tersebut dalam iklim demokrasi. Mendirikan partai politik yang akan ikut dalam pemilu dibutuhakan modal yang tidak sedikit. Mulai dari masalah keduduakn partai poltiik yang hadir disetiap daerah, biaya yang dikeluarkan dalam menggerakan roda oraganisasi partai, hingga kepada pertarungan kotor (politik uang) yang digunakan untuk membeli suara rakyat.Dengan demikian faktor kepemilikan modal menjadi sangat penting dalam hal ini.
            Dengan analisis yang telah diungkapkan diatas, penulis melihat bahwa demokrasi menjadi tidak lebih baik dengan hukum rimba. Dimana yang banyak akan mengalahkan yang sedikit, yang punya modal besar akan mengalahkan yang punya modal sedikit, dan yang besar akan mengalahkan yang kecil. Hal ini disebabkan karena rakyat tidak lagi mengeluarkan hak politiknya secara bebas, melainkan selalu dihubungkan terhadap hal-hal lain yang menurut sebagaian besar rakyat menjadi masalah yang lebih penting (masalah sejengkal perut). Dengan demikian demokrasi menjadi kehilangan ide awalanya yang memberikan hak politik yang sama terhadap individu, karena individu yang mempunyai modal yang lebih dapat membeli hak politik individu yang hidup dalam keterbatasan. Dengan kata lain, demokrasi tidak akan berjalan dengan baik hingga tingkat kesejahteraan rakyatnya belum terpenuhi.
            Dalam konteks keadilan, liberalisme menitikberatkan pada asas persaingan. Seseorang diganjar sesuai dengan apa yang mereka perbuat/hasilkan. Jadi setiap individu akan mendapatkan taraf kehidupannya sesuai dengan apa yang telah mereka hasilkan bagi dirinya sendiri. Dalam persaingan yang terjadi di system pasar, setiap individu yang berhadil menang dalam persaingan akan mendapatkan keuntungan yang maksimal, sedangkan individu yang kalah (losser) akan menjadi miskin. Dan liberlasime melhat hal tersebut adalah baik adanya.Dan Negara tidak boleh campur tangan dalam hal tersebut untuk menolong individu yang kalah dalam persaingan pasar.Negara harus membiarkan hal tersebut terjadi. Karena dengan demikian pandangan liberalism menganggap bahwa kompetisi tersebut akan menyebabkan setiap individu akan semakin termotivasi untuk memenangkan persaingan. Dan dengan demikian dari kompetisi tersebut akan tercipta individu-individu yang unggul.
            Penulis melihat bahwa apa yang di anut ole hide liberalism mengenai konteks keadilan adalah sangat aneh.Keadilan dalam pandangan liberalism tidak berbicara mengenai kesejahteraan, melainkan mengenai ganjaran yang setimpal. Yang menananm satu akan menuai satu, yang menanam dua akan menuai dua, yang menanam tiga akan menuai tiga begitu seterusnya. Tapi saya melihat bahwa apa yang diyakini liberalism sebagai sebuah keadilan tidak mencerminkan keadilan yang sesungguhnya. Masalah yang timbul bukan terletak pada proses persaingan/kompetisi tersebut melainkan pada bagaimana kompetisi itu dimulai. Kompetisi tidak dimulai dengan hal yang sama. Dalam artian dalam memualai kompetisi setiap individu memiliki modal yang berbeda-beda.Ada yang sangat sedikit, sedikit, banyak dan sangat banyak.Karena system kapitalisme sangat bergantung pada faktor kepemilikan modal.Sehingga jika ingin mencapai kompetisi yang adil, maka setiap individu seharusnya mempunyai modal yang sama terlebih dahulu untuk kemudian berkompetisi dalam system ekonomi/pasar. Jadi sebenarnya persaingan/kompetisi tersebut justru tidak dimulai dengan sesuatu yang adil.Jadi menurut penulis tidak ada konsepsi keadilan yang sesunggunya dalam ide liberalism tersebut.

Konsepsi Komunisme
            Banyak orang menilai komunisme merupakan sebuah istilah ataupun ideology yang dicatuskan oleh Karl marx. Namun sesunggunya jauh sebelum Marx lahir ide komunisme tersebut sudah terlebih dahuluh diutarakan oleh Plato dalam ide masyarakat komunitasnya. Namun tulisan ini tidak akan terfokus terhadap perdebatan tersebut. Tulisan ini murni membahas mengenai konsepsi komunisme modern yang merupakan sebuah bentuk antithesis/kritikan dari modernisasi ekonomi (revolusi Industri).Komunisme sendiri hadir bukan hanya sebagai kritik dari ide liberalism, melainkan juga untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh liberalism itu sendiri. Ide komunisme yang diutarakan oleh marx bukanlah merupakan sebuah ide tunggal yang berdiri sendiri. Merupakan sebuah perpanjangan (penyempurnaan) dari ide sosialisme.
            Marx melihat bahwa konsep liberalism yang sedang berjalan telah memakan korban yang begitu banyak.Khususnya terhadap individu-individu yang tidak memiliki modal/alat produksi.Marx kemudian menyebut mereka yang mempunyai modal sebagai borjuis dan mereka yang tidak memiliki modal sebagai proletar.Borjuis adalah mereka yang bertindak sebagai pemilik usaha dan proletar adalah yang bekerja pada pemilik usaha sebagai buruh.Marx melihat bahwa kepemilikan alat produksi secara individu telah mengakibatkan palah pemilik modal semakin serakah.Mereka meraup keuntungan yang besar namun sangat menekan biaya produksi termasuk upah buruh yang ditekan serendah mungkin.Marx melihat bahwa Negara seharusnya mempunyai campurtangan dalam mengendalikan system ekonomi.Negara seharusnya menjadi sebuah penyeimbang anatara sikaya dan simiskin. Jalan satu-satunya yang ditawarkan marx untuk mengatasi permasalahan tersenut adalah dengan cara Negara mengambil alih kepemilikan terhadap alat-alat produksi tersebut. Sehingga terjadi sebuah kesempatan yang sama oleh setiap individu untuk melakukan usaha produksi untuk kemudian berujung pada pemenuhan kebutuhan ekonomi masing-masingindividu tersebut.
            Namun dalam perjalanan pemikirannya, marx melihat bahwa ternyata peran Negara dalam mengendalikan alat produksi tidak mampu menjawab persoalan tersebut. Marx melihat bahwa apa yang dinamakan Negara tidak lagi berfungsi secara kodrati. Negara yang seharusnya bersikap adil anatar borjuis dan proletar diyakini marx juga tidak akan berlaku adil. Dalam hal ini marx melihat bahwa anatar Negara dan borjuis akan terjadi kerjasama simbiosis mutualisme. Dimana borjuis membutuhan pemerintah untuk menjalankan usahanya dengan mengendalikan alat produksi dari Negara, sedangkan Negara membutuhkan capital/dana dari borjuis untuk melangsungkan kinerja pemerintahannya. Hal ini diyakini marx akan terjadi. Karena Negara hanya akan mengalami keuntungan secara financial jika melakukan kerjasama dengan borjuis, sedangkan jika memberikan alat produksi terhadap proletar Negara tidak akan mendapatkan apa-apa secara finasial. Inilah kemudian yang menjadi alasan bagi marx untuk menyimpulkan bahwa Negara hanya merupakan sebuah alat yang dikontrol oleh kaum borjuis untuk menindas kelas proletar.
            Beranjak dari analisis diatas kemudian marx melihat bahwa tidak ada jalan kompromi anatara kelas borjuis dan proletar. Jalan satu-satunya bagi kelas proletar untuk menguasai alat produksi adalah dengan cara merebutnya dari tangan kelas borjusi. Kelas proletar harus bersatu melawan penindasan yang dilakukan oleh kelas borjuis. Hal inilah yang dinamakan marx sebagai revolusi.Revolusi harus dilakukan untuk mengakhiri penderitaan yang selama ini dialami oleh kelas proletar. Tapi marx juga tidak serta merta melihat revolusi merupakan sebuah usaha yang ringan. Marx melihat bahwa revolusi dapat dilakukan atas tiga dasar pokok, pertama adalah adanya kesadaran yang sama dari setiap individu untuk melawan, yang kedua adalah mengenai cara yang sama untuk melawan, yaitu tidak menyakini cara kompromi untuk mengatasi persoalan melainkan dengan cara revolusi fisik. Yang ketiga adalah mengenai tujuan yang sama, yaitu tujuan untuk menciptakan kesejahteraan yang majemuk/permanen bagi setiap kelas proletar.
            Dengan revolusi kemudian kelas proletar akan mendapatkan kemenangannya. Alat produksi akan dikuasi oleh rakyat secara utuh. Marx melihat peran Negara tidak lagi diperlukan dalam hal tersebut.Sebab setiap rakyat telah memiliki alat produksi secara bersama-sama. Untuk menggantikan perna Negara dalam menjalankan proses pemerintahan maka diperlukan sebuah badan yang dinamakan sebagai polit biro.Polit biro merupakan sebuah kumpulan dari individu-individu yang dipercaya oleh kelas proletar.Namun untuk menciptakan masyarakat tanpa Negara diperlukan sebuah fase perjalanan yang panjang. Rakyat harus mempunyai perasaan apa yang dinamakan marx sebagai entitas sama rata dan sama rasa. Dan masyarakat seperti ini menurut marx adalah masyarakat yang secara kualitas sangat tinggi/baik.Masyarakat seperti inilah yang disebut sebagai masyarakat komunis.Dimana Negara tidak lagi diperlukan.Karena tujuan didirikan Negara adalah untuk mengatur rakyatnya.Jadi apabila rakyat telah mampu untuk mengatur masyarakatnya sendiri, maka peran Negara menjadi tidak diperlukan lagi.
            Ide-ide marx dinilai sangat radikal dan frontal untk mengkritik konsepsi liberalism. Namun penulis melihat ada beberapa kelemahan dalam padangan marx tersebut.Pertama adalah masalah untuk menciptakan kesadaran bersama tersebut.Masyarakat modern sekarang mempunyai komunitas yang berbeda-beda dalam sebuah Negara.Jadi untuk membentuk kesadaran bersama tersebut merupakan sesuatu yang sangat sulit (bukan berarti tidak mungkin).Kedua, revolusi yang memenangkan kaum proletar jelas sangat menguntungkan kelas proletar.Lalu bagaimana dengan kelas borjuis sebelumnya.Marx sepertinya sedikit melupakan masalah ini.Apakah kelas borjuis harus dihukum (ditindas) seperti yang sebelumnya dialami oleh kelas proletar? Jika memang demikian marx sesunggunya tidak menghadirkan jalan keluar, melainkan hanya mengajarkan bagaimana caranya membalas dendam.
            Komunisme tidak menyakini demokrasi seperti apa yang diyakini liberalisme dapat menjamin hak-hak politik setiap individu. Menurut komunisme demokrasi hanyalah sebuah mainan yang dimainkan oleh kelas borjuis untuk melanggengkan kekuasaannya.Demokrasi didesain sedemekian ruapa sehingga mencerminkan keadilan politik dan kesetaraan dalam penerapannya.Namun pada kenyataan demokrasi hanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai modal besar untuk memenuhu hasratnya menjadi penguasa.Demokrasi menjadi sesuatu yang tidak masuk akal bagi kelas proletar.Karena disamping masalah politis, proletar masih memiliki maslaah yang jauh lebih serius, yaitu maslaah kelangsungan hidup mereka dan keluarga mereka.Karena kelas proletar terfokus kepada masalah pemenuhan kebutuhan, maka masalah demokrasi mutlak menjadi milik kelas borjuis.Karena kelas proletar tidak mempunyai hasrat untuk demokrasi tersebut. Inilah alasan mengapa komunisme sangat anti terhadap demokrasi karena demokrasi tersebut dinilai tidak akan sampai ke perhatian kelas proletar karena ada maslaah lain yang lebih penting yang harus dipenuhi.
            Sebagai system pemerintahannya komunisme akan membentuk apa yang dinamakan sebagai dictator proletariat. Dictator proletariat adalah sebuah bentuk kepemimpinan dimana pemimpin didasarkan pada kelas proletar. Dictator proletariat menjaga kelas proletar agar tidak lagi mempunyai sifat yang sama seperti apa yang dilakukan oleh kelas borjuis yang menguasai pemerintahan secara sepihak (sebagian orang saja). Untuk itu dictator proletariat juga harus mendapat control dari kelas yang lain. Dalam hal pemilihan umum juga komunisme tidak mengenal hal tersebut.Konsepsi komunisme hanya memperbolehkan adanya satu partai penguasa yaitu partai komunis.Persaingan untuk menjadi pemimpin hanya berlangsung ditingkat partai saja.Dan diusahakan merupakan hasil dari sebuah musyawarah.Persaiangan hanya terdapat dalam partai, dan kemudian namnya diusulkan oleh partai untuk diangkat menjadi pemimpin.
            Penulis melihat terdapat beberapa kelemahan dalam konsep dictator proletariat tersebut. Pertama apakah ada jaminanan bahwa persaan sama rata sama rasa tersebut akan berlangsung selamanya. Harus disadari bahwa manusia itu mempunyai naluri binantang yaitu ingin berkuasa atas sesamanya.Bisa saja kesadaran dari individu kelas proletar berubah ditengah jalan. Dan hal tersebut dapat membuat polit biro membelot dari apa yang menjadi tujuan asalnya. Untuk itu ancaman terhadap polit biro menjelma sebagai kelompok penguasa yang dominan dibandingakan proletar yang lainnya masih sangat memungkinkan. Kedua apakah gaya dictator proletariat yang tegas dan tidak kompromi sesuai diterapkan dalam masyarakat secara luas. Mungkin saja gaya kepempinan dictator proletariat tersebut menjadi penderitaan baru terhadap masyarakat secara umum. Bukankah komunisme lahir untuk mengakhiri penderitaan yang selama ini  diderita oleh kelas proletar. Ketiga adalah maslaah system kepartaian. Kalau memang masyarakat dapat secara akumulatif menerima landasan berdiri partai, aturan paratai dan kebijakan partai lainnya itu tidak akan jadi masalah. Namun apabila ada sebagian orang yang tidak menerimanya apakah orang tersebut tidak diperbolehkan aktif dalam politik karena adanya keharusan menggunakan system mono partai. Bukankah jika hal tersebut terjadi maka telah tercipta apa yang dinamakan sebagai pemaksaan hak politik. Karena dengan begitu berarti setiap orang harus mematuhi setiap kebijakan partai sekalipun ada sesuatu yang dianggap bersebarangan oelh beberapa individu.
            Keadilan dalam konsepsi komunisme adalah keadilan yang berlaku bagi setiap rakyat atau apa yang disebut sebagai keadilan sosial. Dimana setiap rakyat mendapatkan perlakuan yang sama. Baik secara ekonomi maupun politik.Dan semuanya didasarkan pada asas kebersamaan. Keadilan dalam konsep komunisme didasarkan keadilan untuk menggunakan alat produksi dengan kesempatan yang sama. Dalam perkembangannya kemudian komunisme menjamin atas kebutuhan ekonomi rakyatnya. Keadilan dapat terwujud karena setiap individu memiliki kesadaran yang sama untuk saling berbagi, tidak serakah dan mempunyai prinsip saling merasakan penderitaan yang dihadapi oleh individu lainnya.
            Namun penulis melihat bahwa bentuk keadilan seperti ini cukup sulit untuk diwujudkan.Namun bukan berarti hal tersebut tidak bisa di lakukan. Sifat masyarakat komunis yang diutarakan oleh marx masih sangat sulit untuk diwujudkan. Bagaimana mungkin setiap individu mempunyai konsepsi yang sama dalam setiap hal. Setidaknya dibutuhkan fase yang cukup panjang untuk mewujudkan masyarakat komunis yang sama rasa dan sama rata yang seperti apa yang dikemukakan marx tersebut.


Sumber Referensi
Budiardjo, Miriam, 1984, Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi, Jakarta: PT Gramedia
Fukuyama, Francis, 2001, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Yogyakarta: Qalam
Mas’oed, Mohtar, 2003, Negara, Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nugroho, Hero, 2001, Negara, Pasar dan Keadilan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pontoh, Coen Husain, 2005, Malapetaka Demokrasi Pasar, Yogyakarta: Ressist Book
Russell, Bertrand, 2002, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Schmandt, Henry, 2002, Filsafat Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sukarna, 1981, Ideologi: Suatu Studi Ilmu Politik, Bandung: Alumni



[1] Sukarna, IDEOLOGI:Suatu Studi Ilmu Politik,Bandung: Alumni,1981,hlm. 59
[2] Francis fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Yogyakarta: Qalam, 2001.hlm.1

Rabu, 03 Oktober 2012

“ Kekuatan & Kelemahan Marxist Theory dan Pandangan Post_Marxist Mengenai Konflik “


“ Kekuatan & Kelemahan Marxist Theory dan Pandangan Post_Marxist Mengenai Konflik “
Setiap theory tentu mempunyai kekuatan dan juga kelemahan dalam menguraikan sebuah masalah. Begitu juga dengan Marxist theory dalam memandang sebuah konflik. Teori konflik marxist theory merupakan sebuah pendekatan yang sangat konpleks dalam menguraikan sebuah situasi konflik diantara kelas yang bertentangan. Hal ini lah yang membuat teori konflik marxist theory memberikan pengaruh yang sangat besar dalam mengggambarkan sebuah fenomena konflik dalam masyarakat. Marxist theory membahas dengan lengkap aspek aspek yang terdapat dalam sebuah fenomena konflik, mulai dari penyebab sebuah konflik, kelompok kelompok yang berkomflik, perkembangan konflik itu sendiri, penyelesaian konflik, samapi kepada perkembanagn didalam masyarakat pasca penyelesaian konflik tersebut.
Menurut marxist theory sebuah konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara dua kelompok didalam masyarakat. Menurut marxist theory dalam sebuah masyarakat industri terdiri dari dua kelompok yang bertentangan yaitu kelompok yang memiliki alat produksi yang disebut sebagai borjuis dan kelas yang tidak memiliki alat produksi yang disebut sebagai proletar. Yang dimaksud sebagai alat produksi merupakan segala sesuatu yang dapat menghasilkan komoditas yaitu barang kebutuhan masyarakat. Karena komoditas tersebut merupakan kebutuhan masyarakat maka mau tidak mau barang tersebut harus dimiliki oleh setiap masyarakat tanpa harus dipaksakan dengan cara membelinya. Kelas borjuis akan mendapat keuntungan dari proses pembelian yang dilakukan oleh masyarakat. Keuntungan/profit didapat dari selisih antara hasil penjualan dengan modal produksi. Karena mendapat keuntungan maka kelas borjuis akan mendapat kekayaan dari hasil penjualan barang produksi tersebut.
Disisi lain, kelas proletar justru tidak memiliki apa apa kecuali tenaga yang meraka miliki. Kelas proletar terpaksa harus bekerja pada kelas borjuis supaya dapat mempergunakan alat alat produksi dari kelas borjuis tersebut. Dalam situasi seperti ini kelas borjuis akan melakukan penindasan terhadap kelas proletar melalui alat produksi yang mereka miliki. Pengertian dari pernyataan tersebut adalah bahwa situasi seperti ini telah menciptakan setiap masyarakat harus bergantung pada alat produksi, sehingga individu yang memiliki alat produksilah yang mempunyai kekuatan dominan dalam dunia ekonomi. Sedangkan yang tidak memiliki alat produksi demi memenuhi kebutuhan hidupnya terpaksa harus menjual tenaga yang mereka miliki kepada kelas borjuis untuk selanjutnya di tukar oleh upah yang didapat dari kelas borjuis tersebut. Menurut marxist theory hanya ada dua kelas dalam masyarakat, sedangkan kelas kelas lain secara bertahap akan tergabung dengan salah satu dari kelas tersebut. Dalam hal ini keunggulan marxist theory terlatak pada kecerdasan marx dalam mengklasifikasikan kelas kelas sosial dalam masyarakat yang secara prinsip sangat bertentangan.
Dalam pandangan marxist theory pertentangan kelas terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan/ kepentingan yang sangat bertolak belakang. Kelas borjuis mempunyai kepentingan untuk mencari keuntungan yang sebesar besarnya dengan cara menghasilkan komoditas yang sebanyak banyaknya yang diikuti dengan menekan biaya produksi sekecil mungkin. Cara yang dilakukan untuk menghasilkan komoditas yang sebanyak banyaknya  tersebut adalah dengan cara menambah jam kerja bagi para pekerja (proletar) sehingga mampu menghasilkan komoditas yang lebih banyak. Sedangkan cara yang digunakan untuk mencapai biaya produksi seminim mungkin adalah dengan cara menekan upah buruh tersebut. Sedangkan disisi lain kelas proletar menginkan upah yang cukup bagi kebutuhan hidupnya dan juga jam kerja yang tidak terlalu padat sehingga tetap dapat berbaur dalam lingkungan/kehidupan sosialnya. Jadi jelas antara kelas borjuis dan kelas proletar mempunyai perbedaan kepentingan yang sangat bertolak belakang. Kekuatan marxist theory dalam hal ini adalah mengenai analisisnya dalam menguraikan penyebab dari pertentang kelas tersebut.
Marxist theory melihat bahwa yang menjadi dasar dari terjadinya sebuah konflik adalah karena adanya sebuah bentuk penindasan yang dilakukan oleh kelas borjuis terhadap kelas proletar. Penindasan terjadi karena upah yang diterima oleh buruh lebih kecil dari nilai tenaga kerja yang diberikan oleh buruh pada proses produksi. Karena adanya perbedaan tersebut maka secara tidak langsung kelas borjuis telah mendapatkan keuntungan yang seharusnya menjadi hak dari kelas buruh tersebut. Padahal faktor tenaga kerja/ buruh merupakan faktor utama dalam sebuah proses produksi disamping faktor alat produksi dan bahan mentah. Buruh adalah faktor yang mempengaruhi alat produksi sehingga dapat beroperasi. Oleh sebab itu sudah seharusnya buruh mendapat upah yang mencukupi bagi kebutuhan hidupnya. Bentuk penindasan tidak akan lebih buruk jika saja upah yang diterima buruh labih tinggi dari upah yang hanya pas- pasan untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Bentuk penindasan yang dialami kelas proletar lainnya disebabkan karena jam kerja yang diberlakukan terhadap buruh terlalu tinggi. Hampir seluruh dari waktu yang dimiliki oleh kelas proletar dihabiskan dalam sebuah proses produksi. Keadaan ini membuat mereka semakin jauh dari kehidupan sosialnya dan bahkan cenderung kehilangan dunia sosialnya. Kondisi ini membuat kelas proletar menjadi terasing dari kehidupan bermasyarakat dikarenakan tidak memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial disekitarnya. Hal seperti ini disebut sebagai proses alienasi dalam pandangan marxist theory. Jika penekanan upah murah yang dilakukan terhadap buruh merupakan bentuk penindasan fisik, maka bentuk penindasan dalam proses alienasi ini merupakan penindasan dalam bentuk psikologi. Jika diakumulasikan, bentuk penindasan yang dialami oleh kelas proletar yang dilakukan oleh kelas borjuis sudahlah sangat besar. Penderitaan seperti ini membuat kelas proletar tidak tahan terhadap kondisi yang dialaminya dan mendorong untuk terlibat dalam perjuangan kelas (konflik) dengan kelas borjuis. Ini merupakan sebuah analisa dari keunggulan marxist theory dalam menganalisis penyebab ataupun pemicu terjadinya sebuah konflik dalam masyarakat.
Penindasan yang terjadi terus menerus tentu akan menyebabkan keuntungan material bagi kelas borjuis. Akumulasi dari keuntungan ini tentunya akan digunakan oleh kelas borjuis untuk mengembangkan usaha produksi yang pada akhirnya akan membrikan keuntungan yang lebih besar. Ini membuat ketergantungan terhadap alat produksi juga dipengaruhi oleh kepemilikan akan modal/capital. Dalam perkembangannya, para pemilik modal/kapitalis akan semakin kaya karena mendapat keuntungan yang berlimpah dari hasil produksinya. Di pihak lain kelas proletar akan semakin menderita karena mendapat penindasan yang terus menerus dari kelas borjuis. Keadaan seperti ini membuat kelas proletar semakin termarjinaliasi dan sangat sulit untuk keluar penderitaan yang mereka alami. Menurut marxist theory negara/ pemerintah justru akan menjadi mitra bagi kelas borrjuis tersebut. Disatu sisi para kapitalis membutuhkan perlindungan usaha dari pemerintah, dan disisi lain pemerintah membutuhkan dukungan finansial dari kelas borjuis.
Menurut marxist theory, penderitaan yang terus menerus dialami oleh kelas proletar telah membuat mereka mempunyai dendam yang begitu hebat terhadap kelas borjuis. Menurut marxist theory konflik tersebut tidak dapat diselesaikan secara persuasif melainkan harus dengan cara koersif. Ini karena dendam yang sudah begitu lama dipendam oleh kelas proletar terhadap kelas borjuis. Sehingga jalan satu satunya yang harus diambil dalam menyelesaikan konflik tersebut adalah melalui cara koersif yaitu dengan cara revolusi. Dalam pandangan marxist theory revolusi hanya akan terjadi pada sebuah kelas yang mendapat penindasan dan penderitaan yang begitu besar dari si penindas. Kondisi ini membuat terciptanya kesadaran sosial dalam kelas yang tertindas untuk melakukan perlawanan terhadap kelas si penindas. Marxist theory berpendapat bahwa penindasan/penderitaan akan menciptakan frustrasi dalam kelas tertindas, dan selanjutnya dalam keadaan yang frustasi maka akan terjadi perlawanan untuk melakukan revolusi. Revolusi yang dilakukan oleh kelas proletar hanya dapat dilakukan melalui revolusi fisik karena mereka tidak mempunyai apa apa kecuali tenaga mereka sendiri. Para buruh akan menyatukan kekuatannya dalam bentuk kelompok buruh dan melakukan revolusi (perlawanan fisik) terhadap kelas borjuis.
Revolusi proletariat tersebut akan menghasilkan sebuah kemenangan bagi kelas proletar. Kelas proletar akan mengambil alih alat alat produksi yang selama ini hanya dimiliki oleh kelas borjuis. Perampasan terhadap alat produksi tersebut akan digunakan oleh kelas proletar untuk melakukan proses produksi. Hasil dari proses produksi akan langsung digunakan untuk mencukupi kehidupan mereka. Dengan keadaan seperti ini tidak ada lagi penindasan yang terjadi oleh karena kepemilikan alat produksi telah menjadi kepemilikan bersama sehingga semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menggunakannya. Kemenangan kelas proletar ini akan menyebabkan terbentuknya sistem yang baru yaitu diktator proletariat. Yaitu bagaimana kepemimpian dalam bidang ekonomi maupun politik akan diambil alih oleh kelas proletar. Kondisi ini akan menciptakan sebuah keadaan yang harmoni dan tidak ada konflik lagi yang terjadi. Analisis diatas merupakan sebuah keunggulan marxist theory dalam memandang proses perkembangan sebuah konflik sampai kepada bagaimana konflik itu terselesaikan. Ini juga merupakan kemampuan marxist theory dalam meramalkan akhir dari sebuah konflik.
Disamping kelebihan kelibahan/keunggulan keunggulan diatas, terdapat juga beberapa hal yang menjadi kelemahan dari marxist theory tersebut. Kelemahan marxist theory salah satunya adalah mengenai keyakinannya akan tercipta kesadaran kolektif/ kesadaran kelas dalam kelas buruh yang permanen. Dalam pandangan marxist theory, dalam melakukan sebuah revolusi dibutuhkan kesadaran bersama dari kelas sosial yang kemudian menghasilkan wacana yang sama untuk melakukan tindakan bersama pula yaitu melakukan perlawanan terhadap kelas borjuis. Yang menjadi titik permasalahan dari kelemahan teori ini adalah mengenai kesadaran bersama/tindakan bersama yang sifatnya dipermanenkan dalam kelas proletar. Marxist theory sepertinya melupakan bahwa sejarah manusia itu bersifat dinamis dan tidak dapat dipaksakan untuk tetap berada pada satu jalur. Menurut pendapat saya, apa yang dikatakan sebagai tindakan bersama hanya akan terwujud apabila disertai adanya tujuan bersama pada sebuah kelompok masyarakat/kelas. Jadi kesadaran bersama yang sebelumnya terdapat pada kelas proletar tersebut belum tentu akan tetap sama pada masa selanjutnya, karena memang semuanya itu dipengaruhi oleh kepentingan masing masing dari setiap individu yang terdapat pada kelas proletar tersebut.
Kelemahan marxist theory selanjutnya adalah mengenai ketidakmampuannya dalam melihat masalah konflik yang lebih mendetail. Konflik dalam pandangan marxist theory merupakan sebuah pertentangan kelas antara kelas borjuis dan kelas proletar. Marxist theory tidak pernah menyebutkan mengenai konflik yang terjadi didalam masing masing kelas tersebut. Menurut saya hal semacam itu adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Sesama borjuis (pemilik modal) pasti akan berusaha untuk menghasilkan komoditas sebanyak mungkin dibandingkan pemilik modal lainnya. Karena dengan bertambahnya komoditas berartiberbanding lurus dengan keuntungan yang akan didapat oleh para pemodal. Untuk menghasilkan komoditas yang dibarengi dengan keuntungan yang melimpah maka sangat dibutuhkan alat produksi yang lebih baik secara kuantitas maupun kualitas. Disinilah letak konflik yang dimaksud, dimana para pemodal (kaum borjuis) akan berkompetisi untuk memiliki alat produksi sebanyak mungkin dan memiliki alat produksi yang paling modern sehingga dapat menunjung komoditas dari hasil produksinya. Oleh sebab itu sesama borjuis sendiripun mengalami konflik, yang dalam hal ini mengenai perebutan alat produksi tersebut. Tidak hanya dalam kelas borjuis, konflik sebenarnya terjadi juga dalam kelas proletar. Karena upah yang diterima terlalu rendah, maka para buruh akan melakukan pekerjaannya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh pemodal dengan harapan mendapatkan sedikit tambahan upah. Sekalipun tambahan upah yang diberikan nantinya, tetapi hal tersebut cukup berarti mengingat keadaan buruh yang sangat menderita atas sistem yang telah menindas mereka. Dengan keadaan yang demikian, akhirnya para buruh akan beromba lomba untuk mendapat perhatian dari kelas borjuis akan kinerja lebih yang mereka lakukan. Disinilah yang dimasksud bahwa sebenarnya didalam tubuh kelas proletar itu sendiri juga terjadi konflik, yang juga dapat dikatakan sebagi konflik individu.
Kelemahan marxist theory selanjutnya adalah mengenai analisisnya dalam memandang konflik yang masih terlalu simpel/sempit. Hal ini sebeneranya disebabkan mengenai keegoisan marx dalam membagi kelas sosial hanya kedalam dua kelompok saja yaitu borjuis dan proletar. Menurut saya ada elemen lain dilar kedua kelas tersebut yang tidak dikemukan dalam marxist theory dan kelompok ini tidak berhubungan secara sistemik dengan kelas borjuis maupun kelas proletar. Sebagai contoh, dalam sebuah perusahan tentunya terdiri dari para pemodal yang disebut sebagai kelas borjuis dan para pekerja yang disebut sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini merupakan elemen elemen yang terhubung berdasarkan sistem yang mengatur mereka dan menjadi sebuah keutuhan dalam sebuah perusahan (lembaga proses produksi). Jika terjadi konflik antara kedua kelas tersebut, jelas hal ini akan dengan lugas dapat diselesaikan dengan marxist theory. Namun permasalahnnya adalah bagaimana jika konflik justru melibatkan antara seluruh elemen yang terdapat dalam perusahan (kelas borjuis dan kelas proletar) dengan kelas sosial diluar dari perusahan tersebut. Bagaimana mungkin marxist theory dapat menjawab konflik antara sebuah perusahan dengan masyarakat yang berada disekitar perusahan tersebut yang tidak menginkan perusahan tersebut berada di wilayah mereka. Dalam kondisi ini, kelas borjuis dan kelas proletar akan cenderung bersatu untuk menghadapi masyarakat disekitar perusahan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena kelas proletar hanya mempunyai tenaga sebagai alat untuk mencukupi kebutuhan mereka. Sedangkan jika perusahan tersebut ditutup, maka mereka tidak akan lagi dapat bekerja yang pada akhirnya mereka tidak akan mendapatkan uang yang berakibat pada ketidakmampuan mereka mencukupi kebutuhan mereka. Jadi jalaan satu satunya bagi kelas proletar adalah dengan berkoalisi dengan kelsa borjuis untuk  mempertahankan agar perusahan tersebut tetap berdiri. Analisa seperti ini jelas tidak pernah dibahas dalam marxist theory. Hal ini merupakan salah satu kelemahan marxist theory untuk melihat sebuah konflik dalam cakupan yang lebih luas.

Pandangan Post-Marxist Mengenai Konflik
            Post-Marxist atau biasa disebut sebagai teori diskursus merupakan sebuah teori baru yang berupaya untuk meremajakan kembali marxist theory. Oleh sebab itu wajar apabila terdapat perbedaan diantara kedua prespektif ini dalam menganalisa sesuatu, termasuk dalam memandang sebuh konflik. Jika perhatian maarxist theory berpusat pada basis material dalam memandang konflik, maka Post-Marxist justru sebaliknya dengan memusatkan perhatian pada aspek aspek yang bersifat non-material. Menurut Post-Marxist perbedaan kelas itu tidaklah terjadi berdasarkan pada materi yang dimiliki kelompok masyarakat melainkan karena adanya identitas tersendiri yang dimiliki oleh kelompok masyarakat yang tidak dimiliki oleh kelompok lainnya. Post-Marxist memandang bahwa terkonfigurasinya individu yang mengakibatkan tertutupnya identitas individu tersebut merupakan ulah dari individu lainnya yang berusaha untuk menutupi identitas mereka. Faktor ini lah yang nantinya mampu menentukan kelompok-kelompok yang dimasksud. Individu individu yang merasa merasa mengalami ganguan pada identitasnya akan menghasilkan sebuah kesadran kolektif dan tergabung dalam sebuah kelompok berdasarkan identitas yang mereka miliki. Sedangkan pihak pihak yang selama ini menjadi pengganggu bagi identitas mereka akan dianggap sebagi musuh karena telah menggangu eksistensi identitas mereka. Dengan demikian cikal bakal kelompok yang berkonflik telah dapat dilihat dalam hal ini.
            Post-Marxist tidak mementingkan seberapa ideal sebuah cita cita yang dibangun oleh suatu kelas untuk diwujudkan melainkan lebih menekankan kepada seberapa masuk akal cita cita tersebut mampu menyakinkan subjek subjek yang terdapat dalam wacana kolektif yang dibangun. Artinya yang terpenting sebenarnya dalam menjalankan sebuah cita cita bersama adalah dengan selalu menjaga bahwa apa yang telah menjadi sebuah wacana bersama tetap keyakinan bagi setiap subjek subjek didalmnya. Berangkat dari penjelasan ini, maka konsep gramci mengenai hegemoni merupakan sesuatu hal yang sangat penting untuk mewujudkan sebuah kesadaran kolektif yang sangat di pengaruhi oleh wacana kolektif pula. Dengan kata lain Post-Marxist mempercayai bahwa sebuah wacana yang telah diyakini secara kolektif akan mampu menghegemoni setiap individu yang ada didalamnya (subjek subjek), dan hal tersebut lah yang menjadi dasar bagi terwujudnya tindakan kolektif.
            Pada pembahasan sebelumnya mengenai marxist theory telah dijelaskan bahwa proses perubahan sosial akan didasari oleh pertentang kelas yang digerakan oleh kelas proletar, maka Post-Marxist justru melihat kepada kesadaran bersama yang bersifat temporal. Maksudnya adalah bahwa Post-Marxist tidak memandang bahwa kesadaran bersama ini tidak harus digerakan oleh satu kelas yang permanen seperti kelas proletar misalnya, melainkan justru bersifat temporer yang disesuaikan pada apa yang menjadi cita cita bersama dalam masyarakat. Secara sendidrinya maka individu individu yang mempunyai kesamaan yang sama akan cita cita tersebut akan bergabung dan menjadikan mereka satu identitas. Dan hal tersebut terus berjalan secara dinamis sesuai dengan keinginan manusia untuk mempertahankan identitasnya.
            Dalam melakukan sebuah perlwanan, dibutuhkan sebuah psikologi masa yang mendasari sebuah kelas menjadi sebuah kesatuan dan mempunyai kesadaran untuk melakukan sebuah perlawanan. Dalam hal ini Post-Marxist melihat bahwa apa yang dimaskud dengan psikologi masa hanya akan terbentuk melalui tindakan komunikatif. Seperti apa yang diutarakan oleh Laclau dan Moufee Pada awalnya wacana sosial politik harus terus di galakan oleh aktor aktor dalam kelompok tersebut. Para aktor harus mampu merefleksikan bahwa mereka semua adalah sebagai satu kesatuan berdasarkan akan penderitaan yang mereka hadapi. Sehingga karena wcana wacana tersebut telah dapat direfleksikan maka dengan sendirinya akan terciptalah apa yang disebut sebagai solidaritas bersama.Dengan demikian setiap individu akan memiliki kesadarannya masing masing atas posisi yang dihadapinya. Hal ini membuat kesadaran bersama tersebut tidak lagi harus digerakan oleh aktor-aktor melalui jalan mobilisasi, melainkan sudah menjadi solidaroitas bersama dan mampu disadari oleh masing masing individu.



Sumber Referensi
Anthony Giddens & David Held, Perdebatan Klasik dan Kontemporer: Konflik Kekuasaan, dan Politik, Jakarta, Rajawali Pers, 1987.
Joseph Losco & Leonard williams, Political Theory, Jakarta, Rajawali Pers, 2005 .
Maswadi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik,  Jakarta, Dirjen PT Pres, 2001.
Wlodzimierz Brus, Teori Sosial dan Praktek Politik, Jakarta, Rajawali Pers, 1986.