Negara,
Demokrasi, dan Keadilan Sosial
(Suatu Komparasi Antara Konsepsi Liberalis/Kapitalis dan Komunisme)
(Suatu Komparasi Antara Konsepsi Liberalis/Kapitalis dan Komunisme)
Negara,
demokrasi dan keadilan sosial adalah sebuah permasalahan koheren yang saling
berkaitan satu sama lainnya. Negara bertindak sebagai subjek, demokrasi sebagai
alat, dan keadilan sosial adalah yang menjadi tujuannya.Namun dalam melihat
ketiga hal diatas tentulah menghadirkan pandangan yang beragam.Hal ini
disebabkan karena dalam melihat ketiga hal di atas tentulah setiap
pandangan/prespektif mempunyai tolak ukurnya masing-masing.Tulisan ini mencoba
untuk memaparkan bagaimana perbandaingan antara konsepsi/prespektif liberalis/kapitalis dengan komunisme.
Konsepsi
Liberalis/Kapitalis
Konsepsi
liberalis/kapitalis mengedepankan pokok-pokok kebebasan individu, persaingan
secara bebas (kompetisi), dan kebebasan terhadap kepemilikan.Huszar dan
Stevenson dalam karya monumentalnya “political
science” mengutarakan bahwa konsepsi liberalism tidak pernah terlepas dari
pengaruh teori John Locke (1632- 1704).John Locke mengemukakan bahwa manusia itu diberi oleh alam hak-hak
tertentu.Sehingga diperlukan sebuah jaminan untuk menjaga hak-hak tersebut.John
Locke melihat bahwa hak-hak tersebut harus dijamin secara utuh dan sah,
sehingga diperlukan konstitusi untuk mengakomodirnya yang dilindungi oleh
pemerintah.Negara dalam hal ini merupakan sebuah asosiasi dari kumpulan
individu yang mendapat mandat dari semua rakyat untuk menyelenggarakan
pemerintahan. John locke kemudian menuangkan pemikirannya tersebut dalam teori
kontrak sosial.
Secara sederhana teori kontrak sosial menjelaskan bahwa
seluruh rakyat melakukan perjanjian (diikuti dengan penyerahan mandat) terhadap
sekelompok orang yang dipercayai dapat untuk mengatur proses kehidupan mereka.
Namun teori ini tidak serta-merta menyerahkan mandat/kepercayaan tersebut
kepada satu lembaga kekuasaan tunggal. Kekuasaan harus dibagi-bagi kedalam
beberapa lembaga yang saling menguasai satu sama lainnya. Dan rakyat selalu
dilibatkan dalam pengambilan keputusan melalui wakil-wakilnya. Hal-hal diatas
diperlukan untuk mengindari sentralisasi dan monopoli kekuasaan yang dapat
mengarah pada kediktatoran ataupun pemerintahan yang bersifat tiran.
Dalam bidang ekonomi liberalisme menitikberatkan pada
teori Adam smith (1723-1790) yang mengemukakan bahwa dalam masyarakat itu
diatur oleh hukum-hukum
tertentu, yaitu supply dan demand, yang dapat menjamin kemakmuran tiap-tiap
individu.[1]Dengan
demikian, sebagai konsekwensinya
Negara /pemerintah tidak diperbolehkan untuk mencampuri perekonomian
nasional.Negara bertindak sebagai penonton dan hanya harus melindungi hak-hak
dari setiap individu.Setiap individu melakukan pekerjaan atau usahanya
berdasarkan kepentingannya masing masing.Karena individu diberi
kebebesan-kebebasan tersebut maka persaingan ataupun kompetisi menjadi sebuah
keharusan dalam konsepsi liberalis tersebut.
Persaingan yang terjadi antara setiap individu
menyebabkan setiap individu mempunyai keinginan untuk menguasai satu sama
lainnya. Keinginan untuk berkuasa atas yang lain tersebut menghalalkan segala
cara termasuk dengan cara menindas yang satu terhadap yang lainnya. Dalam dunia
industrialisasi, kekuatan ekonomi sangat bergantung terhadap kepemilikan
terhadap alat produksi.Ini disebabkan karena alat produksi menciptakan sebuah
efesiensi kerja dalam mencapai hasil produksi yang lebih maksimal.Inilah yang
kemudian menciptakan istilah “surplus
value” terhadap penguasaan alat produksi.Untuk memiliki alat produksi
faktor modal/kapital menjadi faktor yang paling utama.Dimana kapital sangat
berpengaruh terhadap jumlah alat produksi yang dikuasai dan pengembangan
terhadap jaringan usaha.Oleh sebab itu kepemilikan terhadap modal berpengaruh
besar terhadap penguasaan terhadap system ekonomi.System ekonomi seperti inilah
yang dinamakan sebagai kapitalisme.
Francis fukuyama, seorang sosiolog keturunan Amerika
Jepang dalam karyanya “The End of History
and The Last Man” mengungkakpkan bahwa persaingan ideology pasar dan
politik antara kapitalisme dan komunsime telah berakhir. Dan kapitalisme lah
yang menjadi pemenang.Demokrasi liberal mungkin merupakan “titik akhir dari
evolusi ideologis umat manusia” dan “bentuk final pemerintahan manusia”
sehingga “ia bisa disebut sebagai akhir sejarah”.[2]Fukuyama
jelas merujuk pada apa yang terjadi belakangan ini. Pertama Fukuyama merujuk
pada perekonomian dunia yang sekarang lebih dikuasai oleh Negara-negara yang
menerapkan system ekonomi liberal.Negara yang menerapkan system ekonomi liberal
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Negara yang tidak menerapkannya.Kedua Fukuyama melihat bahwa Negara-negara
induk komusnis seperti rusia dan china mulai mengarahkan system ekonominya yang
lebih liberal. Ini diartikan oleh fukuyama sebagai bentuk system ekonomi
komunisme tersebut. Dan yang ketiga Fukuyama melihat bahwa pasca perang dunia
II mayoritas Negara di dunia lebih menerapkan system pemerintahan yang bersifat
demokratis. Dan rezim-rezim pemerintahan tiran mulai berjatuhan satu-persatu.
Ketiga hal pokok diataslah kemudian yang membuat fukuyama mengambil kesimpulan
bahwa cerita dalam mencari system ekonomi terbaik telah berakhir karena
kapitalisme telah hadir sebagai jawabannya. Dan orang-orang yang menerapkan
system kapitalisme adalah orang yang akan bertahan hingga akhir untuk menguasai
system ekonomi tersebut.
Mengenai pandangan Fukuyama tersebut, penulis mempunyai
pandangan yang berbeda.Menerut penulis Fukuyama mungkin telah berfikir bahwa
bumi telah kiamat saat ini juga.Atau dia mungkin dia terlalu terobsesi dalam mengutarakan
buah-buah pemikirannya.Sehingga dia terlalu menggebu-gebu untuk mengakhiri
cerita persaingan antara konsepsi liberalis dan komunis.Pendapat Fukuyama
mengenai pergerakan system ekonomi Negara komunis kea rah yang lebih liberal
jelas tidak dapat dielakan.Namun hal itu tidak serta merta dapat dijadikan
kesimpulan bahwa komunsime telah habis dan kapitalis masih eksis.Apakah
Fukuyama tidak melihat bagaimana eropa (khususnya eropa barat) dan Amerika
serikat juga telah goya pada prinsip liberalisnya?Kebijakan subsidi silang yang
diambil oleh Negara-negara yang berhaluan liberal jelas juga menunjukan bahwa
liberalis tidak mampu menjawab persoalan yang ditimbulkan dari persaingan usaha
tersebut.Dalam persaingan tersebut jelas ada yang menang dan ada yang
kalah.Untuk menjaga agar kelangsungan perekonomian Negara tetap berjalan maka
subsidi silang diperlukan untuk menjaga stabilitas antara sikaya dan simiskin
tersebut.ide subsidi silang tersebut jelas merupakan sesuatu yang sangat
bertolak belakang terhadap ide liberalis yang menolak peran Negara dalam
mengatur perekonomian nasional.Masalah perbandingan tingkat pertumbuah ekonomi
juga merupakan sesuatu yang harus dianalisis secara mendetail.Tingkat
pertembuhan ekonomi yang dialami oleh Negara liberal merupakan sesuatu yang
berjalan ditaraf makro yaitu kepada pengusaha dengan modal yang besar.Tapi di
tingkat mikro keadaannya masih sangat memprihatinkan.Jadi menurut pandangan
penulis masih terlalu dini untuk mengakri cerita pertarungan eksistensi anatara
liberalis dan komunis.
Liberalisme melihat dalam politik setiap individu harus
diberi kebeasan untuk terlibat terhadap kebijakan dalam ruang lingkup
pemerintahan baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang telah mereka
pilih.Dengan demikian, liberalisme melihat bahwa demokrasi adalah system
pemerintahan yang terbaik. Ini disebabkan karena demokrasi member kesempatan
yang sama terhadap setiap individu untuk memerintah dan diperintah. Demokrasi
juga tidak membedakan terhadap latar belakang seseorang untuk memasuki ranah
pemerintahan.Dengan demikian dalam bidang politik demokrasi telah memenuhi
unsure kebebasan individu dan egaliter.
Liberalisme melihat bahwa dengan demokrasi setiap
individu diperlakukan secara sama dan seimbang. Sebagai contoh dalam sebuah
proses pemilihan umum setiap individu mempunyai hak suara yang sama. Baik itu
seorang professor ataupun orang yang tak berpendidiakan, kaya dan miskin, orang
kota dan orang desa mempunyai hak yang sama yaitu sama-sama diberikan hak untuk
menggunakan satu suara. Dengan kesempatan yang sama tersebut maka demokrasi
seolah olah menjelma menjadi sebuah system pemerintahan yang adil dan dianggap
paling ideal untuk diterapkan disebuah Negara.Namun apa yang telah diuraikan
tersebut merupakan sebuah pemaparan ide demokrasi yang diliaht secara
normative.
Jika kita melihat secara empiris maka sesungguhnya kita
dapat melihat bahwa apa yang terjadi terhadap demokrasi sekarang sangatlah
bersinggungan terhadap kepemilikan modal. Praktek demokrasi sekarang jelas
dapat dilihat berakhir pada hasil penentuan suara (voting) dibandingkan dengan
musyawarah yang menghasilkan kesepahaman bersama.Tidak aka nada demokrasi tanpa
partai politik.Karena partai politik merupakan wadah bagi setiap individu untuk
menyampaikan aspirasinya.Jadi partai politik merupakan instrument yang sangat
penting dalam partai politik.Sekarang mari kita lihat bagaimana konsesnsus
partai politik tersebut dalam iklim demokrasi. Mendirikan partai politik yang
akan ikut dalam pemilu dibutuhakan modal yang tidak sedikit. Mulai dari masalah
keduduakn partai poltiik yang hadir disetiap daerah, biaya yang dikeluarkan
dalam menggerakan roda oraganisasi partai, hingga kepada pertarungan kotor
(politik uang) yang digunakan untuk membeli suara rakyat.Dengan demikian faktor
kepemilikan modal menjadi sangat penting dalam hal ini.
Dengan analisis yang telah diungkapkan diatas, penulis
melihat bahwa demokrasi menjadi tidak lebih baik dengan hukum rimba. Dimana yang banyak akan
mengalahkan yang sedikit, yang punya modal besar akan mengalahkan yang punya
modal sedikit, dan yang besar akan mengalahkan yang kecil. Hal ini disebabkan
karena rakyat tidak lagi mengeluarkan hak politiknya secara bebas, melainkan
selalu dihubungkan terhadap hal-hal lain yang menurut sebagaian besar rakyat
menjadi masalah yang lebih penting (masalah sejengkal perut). Dengan demikian
demokrasi menjadi kehilangan ide awalanya yang memberikan hak politik yang sama
terhadap individu, karena individu yang mempunyai modal yang lebih dapat
membeli hak politik individu yang hidup dalam keterbatasan. Dengan kata lain,
demokrasi tidak akan berjalan dengan baik hingga tingkat kesejahteraan
rakyatnya belum terpenuhi.
Dalam konteks keadilan, liberalisme menitikberatkan pada
asas persaingan. Seseorang diganjar sesuai dengan apa yang mereka
perbuat/hasilkan. Jadi setiap individu akan mendapatkan taraf kehidupannya
sesuai dengan apa yang telah mereka hasilkan bagi dirinya sendiri. Dalam
persaingan yang terjadi di system pasar, setiap individu yang berhadil menang
dalam persaingan akan mendapatkan keuntungan yang maksimal, sedangkan individu
yang kalah (losser) akan menjadi miskin. Dan liberlasime melhat hal tersebut
adalah baik adanya.Dan Negara tidak boleh campur tangan dalam hal tersebut
untuk menolong individu yang kalah dalam persaingan pasar.Negara harus
membiarkan hal tersebut terjadi. Karena dengan demikian pandangan liberalism
menganggap bahwa kompetisi tersebut akan menyebabkan setiap individu akan
semakin termotivasi untuk memenangkan persaingan. Dan dengan demikian dari
kompetisi tersebut akan tercipta individu-individu yang unggul.
Penulis melihat bahwa apa yang di anut ole hide
liberalism mengenai konteks keadilan adalah sangat aneh.Keadilan dalam
pandangan liberalism tidak berbicara mengenai kesejahteraan, melainkan mengenai
ganjaran yang setimpal. Yang menananm satu akan menuai satu, yang menanam dua
akan menuai dua, yang menanam tiga akan menuai tiga begitu seterusnya. Tapi
saya melihat bahwa apa yang diyakini liberalism sebagai sebuah keadilan tidak
mencerminkan keadilan yang sesungguhnya. Masalah yang timbul bukan terletak
pada proses persaingan/kompetisi tersebut melainkan pada bagaimana kompetisi
itu dimulai. Kompetisi tidak dimulai dengan hal yang sama. Dalam artian dalam
memualai kompetisi setiap individu memiliki modal yang berbeda-beda.Ada yang
sangat sedikit, sedikit, banyak dan sangat banyak.Karena system kapitalisme
sangat bergantung pada faktor kepemilikan modal.Sehingga jika ingin mencapai
kompetisi yang adil, maka setiap individu seharusnya mempunyai modal yang sama
terlebih dahulu untuk kemudian berkompetisi dalam system ekonomi/pasar. Jadi
sebenarnya persaingan/kompetisi tersebut justru tidak dimulai dengan sesuatu
yang adil.Jadi menurut penulis tidak ada konsepsi keadilan yang sesunggunya
dalam ide liberalism tersebut.
Konsepsi
Komunisme
Banyak orang
menilai komunisme merupakan sebuah istilah ataupun ideology yang dicatuskan
oleh Karl marx. Namun sesunggunya jauh sebelum Marx lahir ide komunisme
tersebut sudah terlebih
dahuluh diutarakan oleh Plato dalam ide masyarakat komunitasnya. Namun tulisan
ini tidak akan terfokus terhadap perdebatan tersebut. Tulisan ini murni
membahas mengenai konsepsi komunisme modern yang merupakan sebuah bentuk
antithesis/kritikan dari modernisasi ekonomi (revolusi Industri).Komunisme
sendiri hadir bukan hanya sebagai kritik dari ide liberalism, melainkan juga
untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh liberalism itu sendiri.
Ide komunisme yang diutarakan oleh marx bukanlah merupakan sebuah ide tunggal
yang berdiri sendiri. Merupakan sebuah perpanjangan (penyempurnaan) dari ide
sosialisme.
Marx melihat bahwa konsep liberalism yang sedang berjalan
telah memakan korban yang begitu banyak.Khususnya terhadap individu-individu
yang tidak memiliki modal/alat produksi.Marx kemudian menyebut mereka yang
mempunyai modal sebagai borjuis dan mereka yang tidak memiliki modal sebagai
proletar.Borjuis adalah mereka yang bertindak sebagai pemilik usaha dan
proletar adalah yang bekerja pada pemilik usaha sebagai buruh.Marx melihat
bahwa kepemilikan alat produksi secara individu telah mengakibatkan palah
pemilik modal semakin serakah.Mereka meraup keuntungan yang besar namun sangat
menekan biaya produksi termasuk upah buruh yang ditekan serendah mungkin.Marx
melihat bahwa Negara seharusnya mempunyai campurtangan dalam mengendalikan
system ekonomi.Negara seharusnya menjadi sebuah penyeimbang anatara sikaya dan
simiskin. Jalan satu-satunya yang ditawarkan marx untuk mengatasi permasalahan
tersenut adalah dengan cara Negara mengambil alih kepemilikan terhadap
alat-alat produksi tersebut. Sehingga terjadi sebuah kesempatan yang sama oleh
setiap individu untuk melakukan usaha produksi untuk kemudian berujung pada pemenuhan
kebutuhan ekonomi masing-masingindividu tersebut.
Namun dalam perjalanan pemikirannya, marx melihat bahwa
ternyata peran Negara dalam mengendalikan alat produksi tidak mampu menjawab
persoalan tersebut. Marx melihat bahwa apa yang dinamakan Negara tidak lagi
berfungsi secara kodrati. Negara yang seharusnya bersikap adil anatar borjuis
dan proletar diyakini marx juga tidak akan berlaku adil. Dalam hal ini marx
melihat bahwa anatar Negara dan borjuis akan terjadi kerjasama simbiosis
mutualisme. Dimana borjuis membutuhan pemerintah untuk menjalankan usahanya
dengan mengendalikan alat produksi dari Negara, sedangkan Negara membutuhkan
capital/dana dari borjuis untuk melangsungkan kinerja pemerintahannya. Hal ini
diyakini marx akan terjadi. Karena Negara hanya akan mengalami keuntungan
secara financial jika melakukan kerjasama dengan borjuis, sedangkan jika
memberikan alat produksi terhadap proletar Negara tidak akan mendapatkan
apa-apa secara finasial. Inilah kemudian yang menjadi alasan bagi marx untuk
menyimpulkan bahwa Negara hanya merupakan sebuah alat yang dikontrol oleh kaum
borjuis untuk menindas kelas proletar.
Beranjak dari analisis diatas kemudian marx melihat bahwa
tidak ada jalan kompromi anatara kelas borjuis dan proletar. Jalan satu-satunya
bagi kelas proletar untuk menguasai alat produksi adalah dengan cara merebutnya
dari tangan kelas borjusi. Kelas proletar harus bersatu melawan penindasan yang
dilakukan oleh kelas borjuis. Hal inilah yang dinamakan marx sebagai revolusi.Revolusi
harus dilakukan untuk mengakhiri penderitaan yang selama ini dialami oleh kelas
proletar. Tapi marx juga tidak serta merta melihat revolusi merupakan sebuah
usaha yang ringan. Marx melihat bahwa revolusi dapat dilakukan atas tiga dasar
pokok, pertama adalah adanya kesadaran yang sama dari setiap individu untuk
melawan, yang kedua adalah mengenai cara yang sama untuk melawan, yaitu tidak
menyakini cara kompromi untuk mengatasi persoalan melainkan dengan cara
revolusi fisik. Yang ketiga adalah mengenai tujuan yang sama, yaitu tujuan
untuk menciptakan kesejahteraan yang majemuk/permanen bagi setiap kelas
proletar.
Dengan revolusi kemudian kelas proletar akan mendapatkan
kemenangannya. Alat produksi akan dikuasi oleh rakyat secara utuh. Marx melihat
peran Negara tidak lagi diperlukan dalam hal tersebut.Sebab setiap rakyat telah
memiliki alat produksi secara bersama-sama. Untuk menggantikan perna Negara
dalam menjalankan proses pemerintahan maka diperlukan sebuah badan yang
dinamakan sebagai polit biro.Polit biro merupakan sebuah kumpulan dari
individu-individu yang dipercaya oleh kelas proletar.Namun untuk menciptakan
masyarakat tanpa Negara diperlukan sebuah fase perjalanan yang panjang. Rakyat
harus mempunyai perasaan apa yang dinamakan marx sebagai entitas sama rata dan
sama rasa. Dan masyarakat seperti ini menurut marx adalah masyarakat yang
secara kualitas sangat tinggi/baik.Masyarakat seperti inilah yang disebut
sebagai masyarakat komunis.Dimana Negara tidak lagi diperlukan.Karena tujuan
didirikan Negara adalah untuk mengatur rakyatnya.Jadi apabila rakyat telah
mampu untuk mengatur masyarakatnya sendiri, maka peran Negara menjadi tidak
diperlukan lagi.
Ide-ide marx dinilai sangat radikal dan frontal untk
mengkritik konsepsi liberalism. Namun penulis melihat ada beberapa kelemahan
dalam padangan marx tersebut.Pertama adalah masalah untuk menciptakan kesadaran
bersama tersebut.Masyarakat modern sekarang mempunyai komunitas yang berbeda-beda
dalam sebuah Negara.Jadi untuk membentuk kesadaran bersama tersebut merupakan
sesuatu yang sangat sulit (bukan berarti tidak mungkin).Kedua, revolusi yang
memenangkan kaum proletar jelas sangat menguntungkan kelas proletar.Lalu
bagaimana dengan kelas borjuis sebelumnya.Marx sepertinya sedikit melupakan
masalah ini.Apakah kelas borjuis harus dihukum (ditindas) seperti yang
sebelumnya dialami oleh kelas proletar? Jika memang demikian marx sesunggunya
tidak menghadirkan jalan keluar, melainkan hanya mengajarkan bagaimana caranya
membalas dendam.
Komunisme tidak menyakini demokrasi seperti apa yang
diyakini liberalisme dapat menjamin hak-hak politik setiap individu. Menurut
komunisme demokrasi hanyalah sebuah mainan yang dimainkan oleh kelas borjuis
untuk melanggengkan kekuasaannya.Demokrasi didesain sedemekian ruapa sehingga
mencerminkan keadilan politik dan kesetaraan dalam penerapannya.Namun pada
kenyataan demokrasi hanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai modal besar
untuk memenuhu hasratnya menjadi penguasa.Demokrasi menjadi sesuatu yang tidak
masuk akal bagi kelas proletar.Karena disamping masalah politis, proletar masih
memiliki maslaah yang jauh lebih serius, yaitu maslaah kelangsungan hidup
mereka dan keluarga mereka.Karena kelas proletar terfokus kepada masalah
pemenuhan kebutuhan, maka masalah demokrasi mutlak menjadi milik kelas
borjuis.Karena kelas proletar tidak mempunyai hasrat untuk demokrasi tersebut.
Inilah alasan mengapa komunisme sangat anti terhadap demokrasi karena demokrasi
tersebut dinilai tidak akan sampai ke perhatian kelas proletar karena ada
maslaah lain yang lebih penting yang harus dipenuhi.
Sebagai system pemerintahannya komunisme akan membentuk
apa yang dinamakan sebagai dictator proletariat. Dictator proletariat adalah
sebuah bentuk kepemimpinan dimana pemimpin didasarkan pada kelas proletar.
Dictator proletariat menjaga kelas proletar agar tidak lagi mempunyai sifat
yang sama seperti apa yang dilakukan oleh kelas borjuis yang menguasai
pemerintahan secara sepihak (sebagian orang saja). Untuk itu dictator
proletariat juga harus mendapat control dari kelas yang lain. Dalam hal
pemilihan umum juga komunisme tidak mengenal hal tersebut.Konsepsi komunisme
hanya memperbolehkan adanya satu partai penguasa yaitu partai komunis.Persaingan
untuk menjadi pemimpin hanya berlangsung ditingkat partai saja.Dan diusahakan
merupakan hasil dari sebuah musyawarah.Persaiangan hanya terdapat dalam partai,
dan kemudian namnya diusulkan oleh partai untuk diangkat menjadi pemimpin.
Penulis melihat terdapat beberapa kelemahan dalam konsep
dictator proletariat tersebut. Pertama apakah ada jaminanan bahwa persaan sama
rata sama rasa tersebut akan berlangsung selamanya. Harus disadari bahwa
manusia itu mempunyai naluri binantang yaitu ingin berkuasa atas sesamanya.Bisa
saja kesadaran dari individu kelas proletar berubah ditengah jalan. Dan hal
tersebut dapat membuat polit biro membelot dari apa yang menjadi tujuan
asalnya. Untuk itu ancaman terhadap polit biro menjelma sebagai kelompok
penguasa yang dominan dibandingakan proletar yang lainnya masih sangat
memungkinkan. Kedua apakah gaya dictator proletariat yang tegas dan tidak
kompromi sesuai diterapkan dalam masyarakat secara luas. Mungkin saja gaya
kepempinan dictator proletariat tersebut menjadi penderitaan baru terhadap
masyarakat secara umum. Bukankah komunisme lahir untuk mengakhiri penderitaan
yang selama ini diderita oleh kelas
proletar. Ketiga adalah maslaah system kepartaian. Kalau memang masyarakat dapat
secara akumulatif menerima landasan berdiri partai, aturan paratai dan
kebijakan partai lainnya itu tidak akan jadi masalah. Namun apabila ada
sebagian orang yang tidak menerimanya apakah orang tersebut tidak diperbolehkan
aktif dalam politik karena adanya keharusan menggunakan system mono partai.
Bukankah jika hal tersebut terjadi maka telah tercipta apa yang dinamakan
sebagai pemaksaan hak politik. Karena dengan begitu berarti setiap orang harus
mematuhi setiap kebijakan partai sekalipun ada sesuatu yang dianggap
bersebarangan oelh beberapa individu.
Keadilan dalam konsepsi komunisme adalah keadilan yang
berlaku bagi setiap rakyat atau apa yang disebut sebagai keadilan sosial.
Dimana setiap rakyat mendapatkan perlakuan yang sama. Baik secara ekonomi
maupun politik.Dan semuanya didasarkan pada asas kebersamaan. Keadilan dalam
konsep komunisme didasarkan keadilan untuk menggunakan alat produksi dengan
kesempatan yang sama. Dalam perkembangannya kemudian komunisme menjamin atas
kebutuhan ekonomi rakyatnya. Keadilan dapat terwujud karena setiap individu
memiliki kesadaran yang sama untuk saling berbagi, tidak serakah dan mempunyai
prinsip saling merasakan penderitaan yang dihadapi oleh individu lainnya.
Namun penulis melihat bahwa bentuk keadilan seperti ini
cukup sulit untuk diwujudkan.Namun bukan berarti hal tersebut tidak bisa di
lakukan. Sifat masyarakat komunis yang diutarakan oleh marx masih sangat sulit
untuk diwujudkan. Bagaimana mungkin setiap individu mempunyai konsepsi yang
sama dalam setiap hal. Setidaknya dibutuhkan fase yang cukup panjang untuk
mewujudkan masyarakat komunis yang sama rasa dan sama rata yang seperti apa
yang dikemukakan marx tersebut.
Sumber
Referensi
Budiardjo, Miriam,
1984, Simposium Kapitalisme, Sosialisme,
Demokrasi, Jakarta: PT Gramedia
Fukuyama, Francis,
2001, Kemenangan Kapitalisme dan
Demokrasi Liberal, Yogyakarta: Qalam
Mas’oed, Mohtar, 2003, Negara, Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Nugroho, Hero, 2001, Negara, Pasar dan Keadilan Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pontoh, Coen Husain, 2005,
Malapetaka Demokrasi Pasar, Yogyakarta:
Ressist Book
Russell, Bertrand,
2002, Sejarah Filsafat Barat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Schmandt, Henry, 2002, Filsafat Politik, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar