“ Kekuatan &
Kelemahan Marxist Theory dan Pandangan Post_Marxist Mengenai Konflik “
Setiap
theory tentu mempunyai kekuatan dan juga kelemahan dalam menguraikan sebuah
masalah. Begitu juga dengan Marxist theory dalam memandang sebuah konflik.
Teori konflik marxist theory merupakan sebuah pendekatan yang sangat konpleks
dalam menguraikan sebuah situasi konflik diantara kelas yang bertentangan. Hal
ini lah yang membuat teori konflik marxist theory memberikan pengaruh yang
sangat besar dalam mengggambarkan sebuah fenomena konflik dalam masyarakat. Marxist theory membahas dengan lengkap
aspek aspek yang terdapat dalam sebuah fenomena konflik, mulai dari penyebab
sebuah konflik, kelompok kelompok yang berkomflik, perkembangan konflik itu
sendiri, penyelesaian konflik, samapi kepada perkembanagn didalam masyarakat
pasca penyelesaian konflik tersebut.
Menurut
marxist theory sebuah konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara
dua kelompok didalam masyarakat. Menurut marxist theory dalam sebuah masyarakat
industri terdiri dari dua kelompok yang bertentangan yaitu kelompok yang
memiliki alat produksi yang disebut sebagai borjuis dan kelas yang tidak
memiliki alat produksi yang disebut sebagai proletar. Yang dimaksud sebagai
alat produksi merupakan segala sesuatu yang dapat menghasilkan komoditas yaitu
barang kebutuhan masyarakat. Karena komoditas tersebut merupakan kebutuhan
masyarakat maka mau tidak mau barang tersebut harus dimiliki oleh setiap
masyarakat tanpa harus dipaksakan dengan cara membelinya. Kelas borjuis akan
mendapat keuntungan dari proses pembelian yang dilakukan oleh masyarakat.
Keuntungan/profit didapat dari selisih antara hasil penjualan dengan modal
produksi. Karena mendapat keuntungan maka kelas borjuis akan mendapat kekayaan
dari hasil penjualan barang produksi tersebut.
Disisi
lain, kelas proletar justru tidak memiliki apa apa kecuali tenaga yang meraka
miliki. Kelas proletar terpaksa harus bekerja pada kelas borjuis supaya dapat
mempergunakan alat alat produksi dari kelas borjuis tersebut. Dalam situasi
seperti ini kelas borjuis akan melakukan penindasan terhadap kelas proletar
melalui alat produksi yang mereka miliki. Pengertian dari pernyataan tersebut
adalah bahwa situasi seperti ini telah menciptakan setiap masyarakat harus
bergantung pada alat produksi, sehingga individu yang memiliki alat produksilah
yang mempunyai kekuatan dominan dalam dunia ekonomi. Sedangkan yang tidak
memiliki alat produksi demi memenuhi kebutuhan hidupnya terpaksa harus menjual
tenaga yang mereka miliki kepada kelas borjuis untuk selanjutnya di tukar oleh
upah yang didapat dari kelas borjuis tersebut. Menurut marxist theory hanya ada
dua kelas dalam masyarakat, sedangkan kelas kelas lain secara bertahap akan
tergabung dengan salah satu dari kelas tersebut. Dalam hal ini keunggulan marxist theory terlatak pada kecerdasan marx
dalam mengklasifikasikan kelas kelas sosial dalam masyarakat yang secara
prinsip sangat bertentangan.
Dalam
pandangan marxist theory pertentangan kelas terjadi karena adanya perbedaan
kebutuhan/ kepentingan yang sangat bertolak belakang. Kelas borjuis mempunyai
kepentingan untuk mencari keuntungan yang sebesar besarnya dengan cara
menghasilkan komoditas yang sebanyak banyaknya yang diikuti dengan menekan
biaya produksi sekecil mungkin. Cara yang dilakukan untuk menghasilkan
komoditas yang sebanyak banyaknya
tersebut adalah dengan cara menambah jam kerja bagi para pekerja
(proletar) sehingga mampu menghasilkan komoditas yang lebih banyak. Sedangkan
cara yang digunakan untuk mencapai biaya produksi seminim mungkin adalah dengan
cara menekan upah buruh tersebut. Sedangkan disisi lain kelas proletar
menginkan upah yang cukup bagi kebutuhan hidupnya dan juga jam kerja yang tidak
terlalu padat sehingga tetap dapat berbaur dalam lingkungan/kehidupan
sosialnya. Jadi jelas antara kelas borjuis dan kelas proletar mempunyai
perbedaan kepentingan yang sangat bertolak belakang. Kekuatan marxist theory dalam hal ini adalah mengenai analisisnya dalam
menguraikan penyebab dari pertentang kelas tersebut.
Marxist
theory melihat bahwa yang menjadi dasar dari terjadinya sebuah konflik adalah
karena adanya sebuah bentuk penindasan yang dilakukan oleh kelas borjuis
terhadap kelas proletar. Penindasan terjadi karena upah yang diterima oleh
buruh lebih kecil dari nilai tenaga kerja yang diberikan oleh buruh pada proses
produksi. Karena adanya perbedaan tersebut maka secara tidak langsung kelas
borjuis telah mendapatkan keuntungan yang seharusnya menjadi hak dari kelas
buruh tersebut. Padahal faktor tenaga kerja/ buruh merupakan faktor utama dalam
sebuah proses produksi disamping faktor alat produksi dan bahan mentah. Buruh
adalah faktor yang mempengaruhi alat produksi sehingga dapat beroperasi. Oleh
sebab itu sudah seharusnya buruh mendapat upah yang mencukupi bagi kebutuhan
hidupnya. Bentuk penindasan tidak akan lebih buruk jika saja upah yang diterima
buruh labih tinggi dari upah yang hanya pas- pasan untuk mencukupi kebutuhan
hidup.
Bentuk
penindasan yang dialami kelas proletar lainnya disebabkan karena jam kerja yang
diberlakukan terhadap buruh terlalu tinggi. Hampir seluruh dari waktu yang
dimiliki oleh kelas proletar dihabiskan dalam sebuah proses produksi. Keadaan
ini membuat mereka semakin jauh dari kehidupan sosialnya dan bahkan cenderung
kehilangan dunia sosialnya. Kondisi ini membuat kelas proletar menjadi terasing
dari kehidupan bermasyarakat dikarenakan tidak memiliki waktu yang cukup untuk
berinteraksi dengan lingkungan sosial disekitarnya. Hal seperti ini disebut
sebagai proses alienasi dalam pandangan marxist theory. Jika penekanan upah
murah yang dilakukan terhadap buruh merupakan bentuk penindasan fisik, maka
bentuk penindasan dalam proses alienasi ini merupakan penindasan dalam bentuk
psikologi. Jika diakumulasikan, bentuk penindasan yang dialami oleh kelas
proletar yang dilakukan oleh kelas borjuis sudahlah sangat besar. Penderitaan
seperti ini membuat kelas proletar tidak tahan terhadap kondisi yang dialaminya
dan mendorong untuk terlibat dalam perjuangan kelas (konflik) dengan kelas
borjuis. Ini merupakan sebuah analisa
dari keunggulan marxist theory dalam menganalisis penyebab ataupun pemicu
terjadinya sebuah konflik dalam masyarakat.
Penindasan
yang terjadi terus menerus tentu akan menyebabkan keuntungan material bagi
kelas borjuis. Akumulasi dari keuntungan ini tentunya akan digunakan oleh kelas
borjuis untuk mengembangkan usaha produksi yang pada akhirnya akan membrikan
keuntungan yang lebih besar. Ini membuat ketergantungan terhadap alat produksi
juga dipengaruhi oleh kepemilikan akan modal/capital. Dalam perkembangannya,
para pemilik modal/kapitalis akan semakin kaya karena mendapat keuntungan yang
berlimpah dari hasil produksinya. Di pihak lain kelas proletar akan semakin menderita
karena mendapat penindasan yang terus menerus dari kelas borjuis. Keadaan
seperti ini membuat kelas proletar semakin termarjinaliasi dan sangat sulit
untuk keluar penderitaan yang mereka alami. Menurut marxist theory negara/
pemerintah justru akan menjadi mitra bagi kelas borrjuis tersebut. Disatu sisi
para kapitalis membutuhkan perlindungan usaha dari pemerintah, dan disisi lain
pemerintah membutuhkan dukungan finansial dari kelas borjuis.
Menurut
marxist theory, penderitaan yang terus menerus dialami oleh kelas proletar
telah membuat mereka mempunyai dendam yang begitu hebat terhadap kelas borjuis.
Menurut marxist theory konflik tersebut tidak dapat diselesaikan secara
persuasif melainkan harus dengan cara koersif. Ini karena dendam yang sudah begitu
lama dipendam oleh kelas proletar terhadap kelas borjuis. Sehingga jalan satu
satunya yang harus diambil dalam menyelesaikan konflik tersebut adalah melalui
cara koersif yaitu dengan cara revolusi. Dalam pandangan marxist theory
revolusi hanya akan terjadi pada sebuah kelas yang mendapat penindasan dan
penderitaan yang begitu besar dari si penindas. Kondisi ini membuat terciptanya
kesadaran sosial dalam kelas yang tertindas untuk melakukan perlawanan terhadap
kelas si penindas. Marxist theory berpendapat bahwa penindasan/penderitaan akan
menciptakan frustrasi dalam kelas tertindas, dan selanjutnya dalam keadaan yang
frustasi maka akan terjadi perlawanan untuk melakukan revolusi. Revolusi yang
dilakukan oleh kelas proletar hanya dapat dilakukan melalui revolusi fisik
karena mereka tidak mempunyai apa apa kecuali tenaga mereka sendiri. Para buruh
akan menyatukan kekuatannya dalam bentuk kelompok buruh dan melakukan revolusi
(perlawanan fisik) terhadap kelas borjuis.
Revolusi
proletariat tersebut akan menghasilkan sebuah kemenangan bagi kelas proletar.
Kelas proletar akan mengambil alih alat alat produksi yang selama ini hanya
dimiliki oleh kelas borjuis. Perampasan terhadap alat produksi tersebut akan
digunakan oleh kelas proletar untuk melakukan proses produksi. Hasil dari
proses produksi akan langsung digunakan untuk mencukupi kehidupan mereka.
Dengan keadaan seperti ini tidak ada lagi penindasan yang terjadi oleh karena
kepemilikan alat produksi telah menjadi kepemilikan bersama sehingga semua
orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menggunakannya. Kemenangan kelas
proletar ini akan menyebabkan terbentuknya sistem yang baru yaitu diktator
proletariat. Yaitu bagaimana kepemimpian dalam bidang ekonomi maupun politik
akan diambil alih oleh kelas proletar. Kondisi ini akan menciptakan sebuah
keadaan yang harmoni dan tidak ada konflik lagi yang terjadi. Analisis diatas merupakan sebuah keunggulan
marxist theory dalam memandang proses perkembangan sebuah konflik sampai kepada
bagaimana konflik itu terselesaikan. Ini juga merupakan kemampuan marxist
theory dalam meramalkan akhir dari sebuah konflik.
Disamping
kelebihan kelibahan/keunggulan keunggulan diatas, terdapat juga beberapa hal
yang menjadi kelemahan dari marxist theory tersebut. Kelemahan marxist theory
salah satunya adalah mengenai keyakinannya akan tercipta kesadaran kolektif/
kesadaran kelas dalam kelas buruh yang permanen. Dalam pandangan marxist
theory, dalam melakukan sebuah revolusi dibutuhkan kesadaran bersama dari kelas
sosial yang kemudian menghasilkan wacana yang sama untuk melakukan tindakan
bersama pula yaitu melakukan perlawanan terhadap kelas borjuis. Yang menjadi
titik permasalahan dari kelemahan teori ini adalah mengenai kesadaran
bersama/tindakan bersama yang sifatnya dipermanenkan dalam kelas proletar.
Marxist theory sepertinya melupakan bahwa sejarah manusia itu bersifat dinamis
dan tidak dapat dipaksakan untuk tetap berada pada satu jalur. Menurut pendapat
saya, apa yang dikatakan sebagai tindakan bersama hanya akan terwujud apabila disertai
adanya tujuan bersama pada sebuah kelompok masyarakat/kelas. Jadi kesadaran
bersama yang sebelumnya terdapat pada kelas proletar tersebut belum tentu akan
tetap sama pada masa selanjutnya, karena memang semuanya itu dipengaruhi oleh
kepentingan masing masing dari setiap individu yang terdapat pada kelas
proletar tersebut.
Kelemahan
marxist theory selanjutnya adalah mengenai ketidakmampuannya dalam melihat
masalah konflik yang lebih mendetail. Konflik dalam pandangan marxist theory
merupakan sebuah pertentangan kelas antara kelas borjuis dan kelas proletar.
Marxist theory tidak pernah menyebutkan mengenai konflik yang terjadi didalam
masing masing kelas tersebut. Menurut saya hal semacam itu adalah sesuatu yang
sangat mungkin terjadi. Sesama borjuis (pemilik modal) pasti akan berusaha
untuk menghasilkan komoditas sebanyak mungkin dibandingkan pemilik modal
lainnya. Karena dengan bertambahnya komoditas berartiberbanding lurus dengan
keuntungan yang akan didapat oleh para pemodal. Untuk menghasilkan komoditas
yang dibarengi dengan keuntungan yang melimpah maka sangat dibutuhkan alat
produksi yang lebih baik secara kuantitas maupun kualitas. Disinilah letak
konflik yang dimaksud, dimana para pemodal (kaum borjuis) akan berkompetisi
untuk memiliki alat produksi sebanyak mungkin dan memiliki alat produksi yang
paling modern sehingga dapat menunjung komoditas dari hasil produksinya. Oleh
sebab itu sesama borjuis sendiripun mengalami konflik, yang dalam hal ini
mengenai perebutan alat produksi tersebut. Tidak hanya dalam kelas borjuis,
konflik sebenarnya terjadi juga dalam kelas proletar. Karena upah yang diterima
terlalu rendah, maka para buruh akan melakukan pekerjaannya sesuai dengan apa
yang diperintahkan oleh pemodal dengan harapan mendapatkan sedikit tambahan
upah. Sekalipun tambahan upah yang diberikan nantinya, tetapi hal tersebut
cukup berarti mengingat keadaan buruh yang sangat menderita atas sistem yang
telah menindas mereka. Dengan keadaan yang demikian, akhirnya para buruh akan
beromba lomba untuk mendapat perhatian dari kelas borjuis akan kinerja lebih
yang mereka lakukan. Disinilah yang dimasksud bahwa sebenarnya didalam tubuh
kelas proletar itu sendiri juga terjadi konflik, yang juga dapat dikatakan
sebagi konflik individu.
Kelemahan
marxist theory selanjutnya adalah mengenai analisisnya dalam memandang konflik
yang masih terlalu simpel/sempit. Hal ini sebeneranya disebabkan mengenai
keegoisan marx dalam membagi kelas sosial hanya kedalam dua kelompok saja yaitu
borjuis dan proletar. Menurut saya ada elemen lain dilar kedua kelas tersebut
yang tidak dikemukan dalam marxist theory dan kelompok ini tidak berhubungan
secara sistemik dengan kelas borjuis maupun kelas proletar. Sebagai contoh,
dalam sebuah perusahan tentunya terdiri dari para pemodal yang disebut sebagai
kelas borjuis dan para pekerja yang disebut sebagai kelas proletar. Kedua kelas
ini merupakan elemen elemen yang terhubung berdasarkan sistem yang mengatur
mereka dan menjadi sebuah keutuhan dalam sebuah perusahan (lembaga proses
produksi). Jika terjadi konflik antara kedua kelas tersebut, jelas hal ini akan
dengan lugas dapat diselesaikan dengan marxist theory. Namun permasalahnnya
adalah bagaimana jika konflik justru melibatkan antara seluruh elemen yang
terdapat dalam perusahan (kelas borjuis dan kelas proletar) dengan kelas sosial
diluar dari perusahan tersebut. Bagaimana mungkin marxist theory dapat menjawab
konflik antara sebuah perusahan dengan masyarakat yang berada disekitar
perusahan tersebut yang tidak menginkan perusahan tersebut berada di wilayah
mereka. Dalam kondisi ini, kelas borjuis dan kelas proletar akan cenderung
bersatu untuk menghadapi masyarakat disekitar perusahan tersebut. Hal ini dapat
terjadi karena kelas proletar hanya mempunyai tenaga sebagai alat untuk mencukupi
kebutuhan mereka. Sedangkan jika perusahan tersebut ditutup, maka mereka tidak
akan lagi dapat bekerja yang pada akhirnya mereka tidak akan mendapatkan uang
yang berakibat pada ketidakmampuan mereka mencukupi kebutuhan mereka. Jadi
jalaan satu satunya bagi kelas proletar adalah dengan berkoalisi dengan kelsa
borjuis untuk mempertahankan agar
perusahan tersebut tetap berdiri. Analisa seperti ini jelas tidak pernah
dibahas dalam marxist theory. Hal ini merupakan salah satu kelemahan marxist
theory untuk melihat sebuah konflik dalam cakupan yang lebih luas.
Pandangan Post-Marxist
Mengenai Konflik
Post-Marxist atau biasa disebut
sebagai teori diskursus merupakan sebuah teori baru yang berupaya untuk
meremajakan kembali marxist theory. Oleh sebab itu wajar apabila terdapat
perbedaan diantara kedua prespektif ini dalam menganalisa sesuatu, termasuk
dalam memandang sebuh konflik. Jika perhatian maarxist theory berpusat pada
basis material dalam memandang konflik, maka Post-Marxist justru sebaliknya
dengan memusatkan perhatian pada aspek aspek yang bersifat non-material.
Menurut Post-Marxist perbedaan kelas itu tidaklah terjadi berdasarkan pada
materi yang dimiliki kelompok masyarakat melainkan karena adanya identitas
tersendiri yang dimiliki oleh kelompok masyarakat yang tidak dimiliki oleh
kelompok lainnya. Post-Marxist memandang bahwa terkonfigurasinya individu yang
mengakibatkan tertutupnya identitas individu tersebut merupakan ulah dari
individu lainnya yang berusaha untuk menutupi identitas mereka. Faktor ini lah
yang nantinya mampu menentukan kelompok-kelompok yang dimasksud. Individu
individu yang merasa merasa mengalami ganguan pada identitasnya akan
menghasilkan sebuah kesadran kolektif dan tergabung dalam sebuah kelompok
berdasarkan identitas yang mereka miliki. Sedangkan pihak pihak yang selama ini
menjadi pengganggu bagi identitas mereka akan dianggap sebagi musuh karena
telah menggangu eksistensi identitas mereka. Dengan demikian cikal bakal
kelompok yang berkonflik telah dapat dilihat dalam hal ini.
Post-Marxist tidak mementingkan
seberapa ideal sebuah cita cita yang dibangun oleh suatu kelas untuk diwujudkan
melainkan lebih menekankan kepada seberapa masuk akal cita cita tersebut mampu
menyakinkan subjek subjek yang terdapat dalam wacana kolektif yang dibangun.
Artinya yang terpenting sebenarnya dalam menjalankan sebuah cita cita bersama
adalah dengan selalu menjaga bahwa apa yang telah menjadi sebuah wacana bersama
tetap keyakinan bagi setiap subjek subjek didalmnya. Berangkat dari penjelasan
ini, maka konsep gramci mengenai hegemoni merupakan sesuatu hal yang sangat
penting untuk mewujudkan sebuah kesadaran kolektif yang sangat di pengaruhi
oleh wacana kolektif pula. Dengan kata lain Post-Marxist mempercayai bahwa
sebuah wacana yang telah diyakini secara kolektif akan mampu menghegemoni
setiap individu yang ada didalamnya (subjek subjek), dan hal tersebut lah yang
menjadi dasar bagi terwujudnya tindakan kolektif.
Pada pembahasan sebelumnya mengenai
marxist theory telah dijelaskan bahwa proses perubahan sosial akan didasari
oleh pertentang kelas yang digerakan oleh kelas proletar, maka Post-Marxist
justru melihat kepada kesadaran bersama yang bersifat temporal. Maksudnya
adalah bahwa Post-Marxist tidak memandang bahwa kesadaran bersama ini tidak
harus digerakan oleh satu kelas yang permanen seperti kelas proletar misalnya,
melainkan justru bersifat temporer yang disesuaikan pada apa yang menjadi cita
cita bersama dalam masyarakat. Secara sendidrinya maka individu individu yang
mempunyai kesamaan yang sama akan cita cita tersebut akan bergabung dan
menjadikan mereka satu identitas. Dan hal tersebut terus berjalan secara
dinamis sesuai dengan keinginan manusia untuk mempertahankan identitasnya.
Dalam melakukan sebuah perlwanan,
dibutuhkan sebuah psikologi masa yang mendasari sebuah kelas menjadi sebuah
kesatuan dan mempunyai kesadaran untuk melakukan sebuah perlawanan. Dalam hal
ini Post-Marxist melihat bahwa apa yang dimaskud dengan psikologi masa hanya
akan terbentuk melalui tindakan komunikatif. Seperti apa yang diutarakan oleh Laclau dan Moufee Pada awalnya wacana
sosial politik harus terus di galakan oleh aktor aktor dalam kelompok tersebut.
Para aktor harus mampu merefleksikan bahwa mereka semua adalah sebagai satu
kesatuan berdasarkan akan penderitaan yang mereka hadapi. Sehingga karena wcana
wacana tersebut telah dapat direfleksikan maka dengan sendirinya akan
terciptalah apa yang disebut sebagai solidaritas bersama.Dengan demikian setiap
individu akan memiliki kesadarannya masing masing atas posisi yang dihadapinya.
Hal ini membuat kesadaran bersama tersebut tidak lagi harus digerakan oleh
aktor-aktor melalui jalan mobilisasi, melainkan sudah menjadi solidaroitas
bersama dan mampu disadari oleh masing masing individu.
Sumber
Referensi
Anthony
Giddens & David Held, Perdebatan
Klasik dan Kontemporer: Konflik Kekuasaan, dan Politik, Jakarta, Rajawali
Pers, 1987.
Joseph
Losco & Leonard williams, Political
Theory, Jakarta, Rajawali Pers, 2005 .
Maswadi
Rauf, Konsensus dan Konflik Politik, Jakarta, Dirjen PT Pres, 2001.
Wlodzimierz
Brus, Teori Sosial dan Praktek Politik,
Jakarta, Rajawali Pers, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar