BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Reformasi politik yang terjadi pada
tahun 1998 merupakan sebuah momen paling bersejarah bagi perjalanan
demokratisasi di Indonesia. Peristiwa ini menurut pendapat umum diibaratkan
sebagai sebuah tunas baru yang akan tumbuh dan berkembang untuk mencerahkan
iklim demokrasi di Indonesia. Reformasi 1998 yang dimulai pada bulan mei juga
tercatat sebagai sebuah langkah awal untuk mengakhiri rezim otoriter yang
dipraktekan pemerintahan orde baru. Orde baru yang selama masa pemerintahannya
lebih dari tiga puluh dua tahun menerapkan sistem monopoli kekuasaan yang di
komandoi oleh Soeharto.
Sistem monopoli kekuasaan yang berpangkal pada Soeharto tersebut dapat dilihat bagaimana dominannya kekuasaan soeharto pada masa pemerintahannya yang berlangsung lebih dari tiga dekade. Keberlangsungan masa pemerintahan Orde Baru tidak pernah terlepas dari peran mesin politik yang digerakan oleh Soeharto yaitu Golongan Karya (Golkar). Untuk menambah dominasi kekuasaan politiknya, Soeharto juga menerapkan sistem Dwi Fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI menerapkan bahawa Militer/ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) tidak lagi hanya bertugas sebagai lembaga yang berperan dalam ketahanan negara melainkan juga ikut ambil bagian dalam kekuasaaan politik dengan menempatkan utusan-utusannya di lembaga legislatif/DPR. Birokrasi kekuasaan pada saat itu juga di isi oleh orang-orang yang secara emosional memiliki kedekatan dengan Soeharto. Secara tidak langsung birokrasi pada masa Orde Baru didominasi oleh oknum-oknum yang memiliki loyalitas
Praktek monopoli kekuasaan yang dimainkan oleh pemerintahan Orde Baru lebih cenderung kepada pemerintahan yang bersifat Otokrasi dari pada yang selama ini mereka klaim sebagai “ demokrasi Pancasila”. Di Indonesia, Presiden Soeharto yang juga disebut sebagai bapak, secara jelas menunjukan beberapa pole prilaku penguasa kesultanan: Ia seperti umumnya sultan membentuk hubungan patron-klien (bapakisme).[1] Soeharto menempatkan dirinya tepat berada di puncak hiarki kekuasaan di Indonesia. Soeharto kerap menempatkan orang-orang terdekatnya untuk menempati jabatan pemerintahan yang dipimpinnya. Jadi, secara jelas Orde Baru mempraktekan sistem nepotisme danmelakukan pembatasan terhadap orang-orang yang berada diluar lingkaran barisan pendukung dimana hal ini mirip dengan gaya pemerintahan otokrasi.
Sistem monopoli kekuasaan yang berpangkal pada Soeharto tersebut dapat dilihat bagaimana dominannya kekuasaan soeharto pada masa pemerintahannya yang berlangsung lebih dari tiga dekade. Keberlangsungan masa pemerintahan Orde Baru tidak pernah terlepas dari peran mesin politik yang digerakan oleh Soeharto yaitu Golongan Karya (Golkar). Untuk menambah dominasi kekuasaan politiknya, Soeharto juga menerapkan sistem Dwi Fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI menerapkan bahawa Militer/ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) tidak lagi hanya bertugas sebagai lembaga yang berperan dalam ketahanan negara melainkan juga ikut ambil bagian dalam kekuasaaan politik dengan menempatkan utusan-utusannya di lembaga legislatif/DPR. Birokrasi kekuasaan pada saat itu juga di isi oleh orang-orang yang secara emosional memiliki kedekatan dengan Soeharto. Secara tidak langsung birokrasi pada masa Orde Baru didominasi oleh oknum-oknum yang memiliki loyalitas
Praktek monopoli kekuasaan yang dimainkan oleh pemerintahan Orde Baru lebih cenderung kepada pemerintahan yang bersifat Otokrasi dari pada yang selama ini mereka klaim sebagai “ demokrasi Pancasila”. Di Indonesia, Presiden Soeharto yang juga disebut sebagai bapak, secara jelas menunjukan beberapa pole prilaku penguasa kesultanan: Ia seperti umumnya sultan membentuk hubungan patron-klien (bapakisme).[1] Soeharto menempatkan dirinya tepat berada di puncak hiarki kekuasaan di Indonesia. Soeharto kerap menempatkan orang-orang terdekatnya untuk menempati jabatan pemerintahan yang dipimpinnya. Jadi, secara jelas Orde Baru mempraktekan sistem nepotisme danmelakukan pembatasan terhadap orang-orang yang berada diluar lingkaran barisan pendukung dimana hal ini mirip dengan gaya pemerintahan otokrasi.
Praktek
monopoli kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru juga sampai
kedalam hal Ideologi. Pancasila diterapkan sebagai ideologi tunggal bagi
organisasi politik maupun organisasi masyarakat yang berproses pada masa
pemerintahannya. Dengan ideologi Pancasila ini pulalah Soeharto kerap kali
melegalisasi kebijakan/tindakan yang diambilnya. Namun Pancasila pada Orde Baru
diinterpretasikan berbeda oleh Soeharto dari pada Pancasila yang di
konsep/diajukan oleh bapak pendiri banaagsa seperi Soekarno, Hatta, ataupun M.
Yamin. Selama kekuasaan Soeharto sikap keras kekuasaan Orde Baru dilegitimasi
lewat Pancasila, dan karenanya, menjadi ancamana bagi kesatuan negara
Indonesia.[2]
Keadaan ini menggambarkan seolah-olah apa saja yang dilakukan Soeharto selalu
benar/berkaitan dengan Pancasila. Hal ini disebabkan karena Pancasila yang
dimaksud merupakan sebuah konsepsi pemikiran yang dibuat oleh Soeharto sendiri.
Banyak
kalangan menilai bahwa apa yang dilakukan Soeharto pada masa pemerintahan Orde
Baru merupakan praktek dari rezim militer murni. Masuknya militer dalam lembaga
kekuasaan negara (DPR) dan terpilihnya mantan-mantan/purnawirawan militer
sebagai menteri ataupun kepala daerah memperkuat bahwa Orde Baru tidak lebih
dari sebuah rezim militer. Namun saya menilai bahwa apa yang terjadi pada masa
pemerintahan Orde Baru tidak dapat dikatakan sebagai rezim militer murni. Soeharto
tidak pernah menguasi Indonesia dengan cara junta militer, melainkan dengan
cara menggunakan militer untuk masuk kedalam majelis permusyawaratan. Jumlah
anggota parlemen seutuhnya juga bukan berasal dari kalangan militer, melainkan
ada juga yang berasal dari partai politik dan utusan golongan yang lain. Namun
sesuatu yang harus menjadi perhatian utama adalah, kedudukan anggota parlemen
yang non militer juga sangat di dominasi oleh kelompok yang loyal terhadap
Soeharto. Golkar sebagai lembaga politik yang selalu unggul mutlak dalam setiap
penyelenggaran pemilu merupakan barisan setia pendukung kekuasaan Soeharto.
Sedangkan anggota parlemen yang berasal dari utusan golongan juga merupakan
orang-orang yang memiliki kedekatan dengan pemimpin yang dianggap memimpin
dengan tangan besi tersebut. Praktis hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berada diluar barisan pendukung
Soeharto. Namun tetap saja kekuatan kedua partai ini (PPP & PDI) tidak
sebanding jika dibandingkan dengan kekuatan barisan pendukung Soeharto.
Pengawasan kedua partai ini dalam parlemen terhdapa pemerintahan Orde Baru juga
sangat lemah dan bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada. Kondisi ini yang
membuat rezim pemerintahan Orde Baru dapat langgeng berkuasa lebih dari tiga
puluh dua tahun lamahnya.
Goyahnya
kekuasaan Orde Baru bermula dari krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun
1997. Inflasi terhadap rupiah yang terlalu tinggi terhadap rupiah membuat
orang-orang kelas menengah kebawah semakin menderita. Hanya dalam beberapa
bulan, krisis ekonomi telah memporakporandahkan perekonomian di Indonesia.
Pemerintah pun terkesan tidak mampu untuk mengatasi krisis ekonomi tersebut.
Karena sangat menderita dengan krisis ekonomi tersebut, maka mulai terjadi
penurunan legitimasi kekuasaan pada pemerintahan Orde Baru. Hal ini ditandai
dengan terjadinya aksi-aksi di daerah untuk menurunkan harga bahan pokok yang
dinilai sudah melambung terlalu tinggi. Sehingga sangat sulit bagi masyarakat
secara umum untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Orde
Baru sepertinya telah kehilangan strategi untuk mengatasi krisis ekonomi. Hal
ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin menurun.
Masyarakat melakukan aksi-aksi untuk menuntut perbaikan pada sektor ekonomi.
Hal ini membuat pemerintahan Soeharto mendapat goncangan dari luar. Kondisi ini
diperparah karena Orde Baru juga diguncang dari dalam dimana beberapa menteri
mulai menunjukan sikap ketidakberpihakan terhdapa pemerintahan. Beberapa
petinggi partai Golkar yang selama ini loyal terhadap Soeharto juga mulai ragu
atas kesanggupan pemerintahan Orde Baru mengatasi krisis.
Kekuatan
oposisi juga ikut mengguncang kekuasaan Orde Baru. Golongan islam yang diwakili
oleh Abdurrahman Wahid dan Amin Rais dan golongan Nasionalis yang diwakili oleh
megawati juga gencar melancarkan kritik terhadap pemerintahan. Demonstrasi rakyat
yang dipelopori oleh mahasiswa mulai terjadi besar-besaran dari pusat hingga
daerah. Hal ini juga mengakibatkan kekuatan dukungan terhdapa pemerintahan
mulai menipis. Kejadian-kejadian ini menjadi pukulan telak bagi pemerintahan
Orde Baru sehingga memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
Presiden republik indonesia dan untuk kemudian posisinya digantikan oleh
Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai wakil presiden. Namun masa
pemerintahan Habibie juga berakhir sangat sebentar karena sidang Istimewa MPR
memutuskan untuk melakukan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden yang baru.
Pemilu
pada tahun 1999 merupakan Pemilu pertama yang diselenggarahkan pasca Orde Baru.
Dalam Pemilu tersebut jumlah partai politik (parpol) yang semula hanya 3,
membludak menjadi 48 partai. Dengan bergantinya rezim pemerintahan, menarik
untuk dilihat bagaimana sebenarnya proses pergantian rezim kekuasaan tersebut
jika dihubungkan dengan proses demokratisasi di Indonesia.
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan
latar belakang diatas, maka sebenarnya telah terjadi perubahan antara
pemerintahn Orde Baru dan Era Reformasi. Perubahan itu dimulai dari pergantian
kepala negara/presiden yang selama ini telah berkuasa selama lebih dari tiga
dekade sampai kepada perubahan pada aspek-aspek politik yang lainnya. Dengan
demikian yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
proses pergantian rezim kekuasaan Orde Baru ke Era Reformasi jika dikaitkan
dengan proses demokratisasi di Indonesia.
I.3.
Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini menjadi lebih
terfokus dan menghasilkan uraian yang sistematis, maka diperlukan batasan
batasan masalah sehingga dapat diidentifikasikan hal apa saja yang menjadi
masalah penelitian. Adapun yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut,
1. Penelitian
ini terfokus pada masa peralihan antara masa pemerintahan Orde Baru ke Era
Reformasi
2. Penilitian
ini hanya menjelaskan bagaimana pergantian rezim kekuasan dari Orde Baru Ke
Reformasi jika dihubungkan dengan pross demokratisasi di Indonesia.
I.4.
Tujuan Penelitian
Secara garis besar, penelitian ini
bertujuan untuk melihat aspek-aspek politik demokratis seperti apa yang terjadi
pada masa transisi dari pemerintahan Orde Baru ke Era Reformasi.
I.5.
Manfaat Penelitian
- Secara pribadi penelitian mampu mengasa kemampuan peneliti dalam melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri.
- Secara teoritis penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang diharapkan dapat memberikan sumbangsi pemikiran konsep konsep dalam teori politik, terutama menyangkut masalah tansisi politik yang menuju proses demokrasi.
3. Secara
praktis penelitian ini diharapkan mampu menjadi sebuah referensi/kepustakaan
bagi lembaga lembaga yang bergerak dalam ilmu politik.
I.6.
Kerangka Teori
Untuk mempermudah penelitian ini,
maka di perlukan landasan teori untuk mempermudah peneliti dalam menguraikan
permasalahan yang timbul dalam penelitian ini. Konsepsi teori transisi politik
dan konsepsi teori demokrasi sangat dibutuhkan untuk membantu peneliti sebagai
landasan teoritis dalam penelitian ini.
I.6.1. Konsepsi Teori
Transisi Politik
Transisi merupakan
sebuah masa peralihan diantara masa ataupun keadaan sebelumnya ke masa/keadaan
sesudahnya. Dengan kata lain transisi adalah interval (selang waktu) antara
suatu rezim politik dengan rezim yang lain. Sedangkan transisi politik dapat di
defeniskan sebaga masa peralihan antara sebuah rezim kekuasaan yang sebelumnya
ke rezim kekuasaan yang sesudahnya. Transisi politik biasanya menjelaskan
bagaimana perubahan politik terjadi pada masa pergantian rezim kekuasaan.
Transisi politik pada umumnya terjadi pada masa pemerintahan yang sudah lama
berkuasa. Sehingga untuk menuju masa pemerintahan yang selanjutnya dibutuhkan
sebuah masa/keadaan untuk beralih dari masa pemerintahan yang telah berlangsung
lama sebelumnya.
Dalam sebuah masa transisi tidak
dapat dipastikan apakah masa sesudah transisi selalu menjadi lebih baik dari
masa sebelum transisi. Jadi keadaan yang akan terjadi setelah transisi
berlangsung adalah sesuatu ketidakpastian. Transisi politik bisa saja
menghasilkan sebuah pencerahan bagi demokrasi dengan berakhirnya sebuah rezim
otoriter yang sudah berlangsung sangat lama. Transisi juga dapat berkembang
menjadi konfrontasi sengit dan meluas, yang membuka jalan bagi rezim-rezim
revolusioner yang ingin memperkenalkan perubahan drastis dari kenyataan politik
yang ada.[3]
Artinya masa transisi merupakan masa yang sulit untuk diprediksikan. Pada masa
transisi keadaan politik suatu negara dalam keadaan yang tidak stabil, sehingga
segala kemungkinannya bisa saja terjadi.
Transisi dibatasai, di satu sisi,
oleh dimulainya proses perpecahan sebuah rezim otoritarian, dan disisi lain,
oleh pengesahan beberapa bentuk demokrasi, kembalinya beberapa bentuk
pemerintahan otoriter, atau kemunculan suatu alternatif revolusioner.[4]
Dengan demikian dalam sebuah proses transisi, aturan main politik menjadi tidak
menentu karena instabilitas yang terjadi. Hal ini disebabkan karena setiap
kelompok kepentingan akan bertarung untuk menentukan aturan main politik agar
dapat menetapkan peraturan ataupun prosedur-prosedur yang mendukung kelompok
kepentingan tersebut. Dengan demikian dapat membuka jalan bagi mereka untuk
menggapai kekuasaan pada masa pemerintahan selanjutnya.
Namun
proses penetapan aturan ataupun prosedur-prosedur politik tersebut akan
mengalami proses talik ulur yang sangat ketat. Ini disebabkan karena banyaknya
kelompok kepentingan yang akan memperjuangkan kepentingan kelompok
kepentingannya masing-masing pada masa transisi yang sangat rawan terhadap
perubahan. Diperlukan sebuah kesepakatan politik diaantara kelompok kepentingan
yang beramin dalam menentukan prosedur politik tersebut. Namun jika kesepakatan
tersebut tidak terwujud, maka pertikaian diantara kelompok kepentingan akan
terus terjadi, dan bukan tidak mungkin rezim yang lama akan berkuasa kembali.
Sebuah hal yang menandai dimulainya masa transisi adalah ketika penguasa
otoriter mulai memodifikasi peraturannya sebagai jaminan yang lebih kuat bagi
kelangsungan kekuasaannya.
Teori konsepsi transisi politik
merupakan salah satu teori yang sangat diperlukan dalam penelitian ini. Ini
disebabkan karena masa peralihan antara masa pemerintahan Orde Baru dan Era
Reformasi merupakan sebuah masa transisi politik. Sangat banyak
peristiwa-pristiwa politik yang terjadi pada masa transisi tersebut, sehingga
dibutuhkan kerangka teori yang kuat mengenai tansisi politik untuk menguraikan
masalah yang timbul pada masa transisi tersebut. Teori ini diharapkan mampu
memberi pijakan berpikir bagi peneliti dalam melihat permasalahan yang timbul
dalam masa transisi dari orde baru ke era reformasi.
I.6.2. Konsepsi Teori Demokrasi
I.6.2.1. Demokrasi:
Dari Zaman Yunani Kuno Hingga Zaman Renaissance
Istilah
demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari yunani yaitu, demos yang artinya rakyat, dan kratein/kratos yang artinya
pemerintahan. Dengan demikian demokrasi dapat diartikan sebagai sebuah bentuk
pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat dalam suatu masyarakat tertentu.
Demokrasi merupakan sebuah bentuk antitesis dari sistem monarki/kerajaan. Hal
ini disebabkan karena demokrasi bermaksud memberikan kekuasaan tersebut
bersumber pada seluruh rakyat sedangkan monarki menyerahkan kekuasaan negara
pada seorang raja yang berperan memimpin negara. Namun dalam prakteknya
konsepsi demokrasi sangat sulit diterapkan, karena sangat tidak mungkin bagi
setiap rakyat untuk memerintah sehingga dengan demikian rakyat memilih
orang-orang kepercayaannya untuk dijadikan wakil dalam pemerintahan.[5]
Yunani merupakan negara yang
mula-mula mempraktekan corak pemerintahan demokrasi tersebut pada abad ke empat
belas sebelum masehi. Dianatara negara-negara kota (polis) yang ada di yunani,
athena merupakan negara tempat tinggal para pemikir-pemikir politik seperti
Socrates, Plato, ataupun Aristoteles. Mereka memberikan sumbangsi pemikiran
bagi konsep demokrasi yaitu sebuah corak yang mengutamakan rakyat kecil/atau
jelata, bukan raja yang selama ini sudah berlangsung. Bahkan akibat dari
pemikirannya ini Socrates sampai harus dihukum mati dalam peradilan yunani
karena pemikirannya dianggap dapat menyesatkan generasi penerus untuk melawan
kekuasaan penguasa pada saat itu.
Salah satu murid Socrateas, Plato
terus mengembangkan pemikiran tentang demokrasi tersebut. Menurut Plato tidak
perlu adanya kekayaan dan kemiskian yang terlalu berlebihan. Karena jika itu
terjadi, maka kekuasaan akan menjadi milik kaum hartawan. Hal ini akan membuat
kaum miskin melakukan perlawanan karena penindasan yang dilakukan kaum
hartawan. Hal ini lah yang dapat membuat pertikaian dalam masyarakat. Namun
dari sinilah akan terwujud demokrasi tersebut dimana rakyat yang miskinlan yang
akan menguasai negara. Namun banyak kalangan yang meragukan pemikiran plato
tersebut. Bagaimana mungkin orang miskin dapat mengelola negara tanpa dibekali
pengetahuan yang cukup.
Seperti juga Plato, maka Aristoteles
beranggapan bahwa negara itu dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya,
supaya mereka dapat hidup baik dan bahagia.[6]
Hal ini diperuntukan menciptakan keadilan bagi rakyat miskin. Namun dalam
pemikiran Aristoteles sekalipun negara harus menjamin kesejahteraan rakyatnya,
namun tidak serta merta rakyat lah yang harus memerintah secara langsung.
Menurut Aristoteles sangat sulit rasanya jika rakyat memerintah secara langsung
karena rakyat tidak mempunyai pengetahuan yang baik dalam mengelola negara.[7]
Sehingga jabatan pemerintahan harus diberikan kepada
pemikir-pemikir/cendikiawan dan tetap menempatkan kedaulatan tertinggi kepada
rakyat.
Sisitem pemerintahan yang bercorak
demokrasi tidak mendapat sambutan hangat untuk seterusnya. Sistem ini bagi
pemikir zaman pertengahan yang menganggap demokrasi sebagai bentuk pemerintahan
yang acap kali mengakibatkan instabilitas. Pemikir abad pertengan menganggap
bahwa sangat tidak mungkin memberikan kekuasaan pada rakyat, karena itu akan
menciptakan kekacauan karena setiap rakyat akan berupaya untuk menjadi
pemerintah. Hal ini akan menciptakan suasana yang tidak kondusif. Bagi pemikir
pada zaman ini raja adalah wakil Tuhan di dunia, sehingga raja dan keturunannya
lah yang berhak memerintah di dunia. Sehingga pda zaman itu banyak negara yang
menganut corak monarki.
Setelah corak pemerintahan monarki
bertahan lama, maka lahirlah pemikir-pemikir renaissance yang memperkenalkan
corak pemerintahan demokrasi yang di modifikasi dari corak demokrasi di yunani
sebelumnya. Pemikir-pemikir pada zaman ini memakai konsepsi teori perjanjian
masyarakat (Kontrak Sosial). Kontrak sosial adalah sebuah perjanjian dimana
rakyat memberikan mandatnya kepada sebagain orang untuk memerintah yang disebut
sebagai dewan, dan dewan tersebut bertanggungjawab atas kesejahteraan
rakyatnya. Perkembangan sistem demokrasi juga didukung oleh penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan oleh raja sehingga rakyat menuntut supaya kekuasaan
tersebut tidak lagi diberikan kepada keturunan raja demi kehidupan yang lebih
baik. Seperti itulah perjalanan konsepsi teori demokrasi dari zaman yunani kuno
hingga zaman pencerahan (renaissance).
I.6.2.2. Demokrasi
Modern
Demokrasi modern
terjadi pada abad kesembilan belas dan abad kedua puluhan. Demokrasi dianggap
sebagai fenomena politik modern karena hampir setiap negara menerapkannya
sebagai sistem pemerintahan. Demokrasi pada hari ini ditafsirkan oleh Robert A.
Dahl sebagai satu sistem politik yang memberi peluang kepada rakyat jelata
untuk membuat keputusan-keputusan secara umum.[8]
Artinya persoalan negara tidak hanya menjadi persoalan bagi orang orang kaya
saja melainkan menjadi persoalan bagi setiap rakyatnya. Dengan demikian setiap
orang mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut ambil bagian dalam permasalahan
negara.
R.M. Mac Iver dalam bukunya Negara Modern bahwa dalam sebuah negara
demokrasi, rakyat tidak memerintah secara langsung, melainkan mengawal
pemerintah dengan cara turut aktif mengawasi pemerintahan. Sementara itu J.W.
Garner berpendapat bahwa demokrasi berarti pemerintahan yang mirip perwakilan.
Pegawai-pegawai serta agen-agen dipilih oleh rakyat secara langsung. Mereka
yang dipilih juga bertanggungjawab untuk melakukan sesuai apa yang dikehendaki
oleh mereka yang memilih.
Demokrasi
menurut Raymond Grttel haruslah memenuhi sayarat-sayarat sebagai berikut:
1. Bentuk pemerintahan harus didukung oleh persetujuan umum.
2. Peraturan-peraturan serta dasar-dasar awam dicipta oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum.
3. Kepala negara dan kepala kerajaan dipilih secara langsung atau tidak langsung melalui pemilihan umum.
4. Hak memilih secara langsung diberikan kepada rakyat jelata atas dasar kesadaran
5. Jabatan-jabatan serta tugas-tugas pemerintahan dipegang oleh pegawai yang dilantik berdasarkan kelayakan daripada semua golongan rakyat.[9]
1. Bentuk pemerintahan harus didukung oleh persetujuan umum.
2. Peraturan-peraturan serta dasar-dasar awam dicipta oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum.
3. Kepala negara dan kepala kerajaan dipilih secara langsung atau tidak langsung melalui pemilihan umum.
4. Hak memilih secara langsung diberikan kepada rakyat jelata atas dasar kesadaran
5. Jabatan-jabatan serta tugas-tugas pemerintahan dipegang oleh pegawai yang dilantik berdasarkan kelayakan daripada semua golongan rakyat.[9]
Dari
penjelasan diatas dapat dilihat beberapa ciri dari corak pemerintahan demokrasi.
Demokrasi mementingkan kehendak, pendapat serta pandangan rakyat itu sendiri.
Demokrasi juga memeliki nilai-nilai yang bersifat fundamental antara lain hak
asasi, kebebasan asasi, keadilan, persamaan, dan keterbukaan.
Demokrasi Modern juga menuntut
adanya lembaga-lembaga politik yang dapat menjamin keberlangsungan demokrasi
dalam suatu negara. Sebuah negara dapat dikatakan demokratis apabila memiliki
pemerintahan yang bertanggungjawab, dewan perwakilan rakyat yang mewakili semua
golongan yang dipilih secara bebas dan adil, organisasi politik yang mencakup
satu atau lebih partai politik, lembaga pers yang bebas dan sistem peradilan
yang bebas dan mandiri.
I.6.2.3. Praktek
Demokrasi
Mayoritas negara di
dunia ini menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dalam negaranya.
Untuk mengetahui apakah suatu negara menganut paham demokrasi adalah dengan
cara melihat adanya pemerintahan yang berdaulat pada negara tersebut, adanya
pemisahan kekuasaan pada lembaga negara yang saling mengawasi, adanya kebebasan
pers dan diselenggarakannya pemilihan umum secara berkala untuk melakukan
pergantian pada jabatan-jabatan politik.[10]
Sekalipun demokrasi telah memiliki
nilai-nilai yang mengatur didalamnya, namun tetap saja ada masalah yang timbul
dalam setiap proses demokratisasi di suatu negara. Hal ini memancing para
pemikir politik untuk memikirkan bagaimana sebenarnya konsep demokrasi yang
ideal. Menurut Robert A. Dahl, proses demokrasi yang ideal akan memenuhi lima
kriteria:
1. Persamaan
hak pilih: dalam keputusan kolektif yang mengikat, setiap warganegara mempunyai
kesempatan yang sama dalam memberikan keputusannya.
2. Partisipasi
Efektif: Setiap warganegara mempunyai peran yang berimabang dalam menentukan
agenda kerja dalam menentukan kesimpulan terakhir.
3. Pembeberan
kebenaran: setiap warga negara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai
untuk melakukan penilaian yang logis demi mencapai hasil yang diinginkan
4. Kontrol
terakhir terhadap agenda
5. Pencakupan:
Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum,
kecuali pendatang sementara.
Praktek demokrasi pertama kali
diterapkan di negara kota (polis) di Yunani. Negara kota dianggap ideal sebagai
sebuah negara karena keefisien negara dalam mengatur rakyatnya sangat tinggi.
Negara kota mayoritas tidak memiliki wilayah yang terlalu lebar dan
masyarakatnya/warga negaranya relatif sedikit. Hal ini memungkinkan untuk
setiap golongan ataupun wilayah yang terdapat pada negara tersebut dapat
terwakili dengan berimabang ditingkat pusat. Sehingga mandat/kepentingan yang
ada dalam setiap elemen masyarakat dapat tersalurkan secara efektif.
Namun praktek demokrasi yang
terjadi belakangan ini sangat jauh berbeda dari apa yang terjadi pertama kali
di negara kota tersebut. Negara pada zaman sekarang ini memiliki wilayah yang
lebih luas, dan warganegara yang sangat banyak. Belum lagi tipe warga negara
yang bersifat heterogen seperti Indonesia yang jelas akan menjadi persoalan
tersendiri bagi proses demokratisasi pada setiap negara. Roberth Dahl menilai
bahwa sangat sulit untuk menciptakan iklim demokrasi dalam negara dengan
masyarakat yang pluralis. Hal ini disebabkan karena sanagt tidak mungkin setiap
golongan/suku bangsa yang ada dalam negera tersebut dapat terwakili secara
seimbang. Namun jika permasalah tersebut tidak dapat diatasi, maka kekacau juga
akan terjadi karena adanya kecemburuan sosial antara golongan/kelompok yang
satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, menurut Dahl dalam sebuah negara yang
masyarakatnya pluralis, demokrasi merupakan sesuatu yang sifatnya dilematis.
I.6.3. Transisi Menuju
Demokrasi
Transisi menuju
demokrasi tidak bisa terbentuk begitu saja, melainkan mempunyai pola-pola yang
terjadi sebelumnya. Transisi menuju demokrasi yang terjadi disuatu negara belum
tentu sama dengan yang terjadi di negara lainnya. Pola-pola tersebutlah yang
dapat membedakan transisi yang bagaimana yang terjadi pada suatu negara.
Menurut Rod Hague ada emapat pola transisi menuju demokrasi. Pola pertama dari
transisi tersebut adalah pola transformasi, dimana pemimpin negara mempunyai
inisiatif untuk memimpin upaya demokratisasi di negaranya. Kasus seperti ini
terjadi di Spanyol dan Brazil.
Pola keedua dari tansisi tersebut
adalah replacement, dimana kelompok oposisi memimpin perjuangan menuju
demokrasi dengan cara menggulingkan kekuasaan yang sebelumnya memerintah. Kasus
seperti terjadi di Argentina dan Portugal. Pola yang ketiga adalah
tranplacement, diaman demokratisasi berlangsung sebagai akibat negosiasi dan
bergaining antara pemerintah dan kelompok oposisi. Ini terjadi di Nikaragua,
Polandia dan Bolivia. Pola yang keempat adalah intervensi, yaitu
lembaga-lembaga demokratis dibentuk dan dipaksakan berlakunya oleh aktor dari
luar seperti di granada dan panama. Namun pola ini memang jarang terjadi.
Teori ternasisi menuju demokrasi
sangat diperlukan dalam penelitian ini untuk dapat melihat, pola seperti apakah
yang sebenarnya terjadi dalam masa transsi dari Orde Baru ke Era Reformasi.
Sehingga dapat memudakan bagi peneliti untuk menganalisis pola transisi yang
terjadi.
I.7. Metodologi
Penelitian
I.7. 1. Jenis
Penelitian
Berdasarkan metode yang
dipakai maka penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif. Penelitian pada
akhirnya bermaksud menggambarkan sesuatu yang lebih mendetail mengenai suatu
fenomena. Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, atau
gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
I.7. 2. Teknik
Pengumpulan Data
Data atau informasi yang
diperlukan dalam penelitian ini bersumber pada buku buku ataupun jurnal
juranal, dan website website yang terkait dengan penelitian ini. Dalam artian
literatur yang mempunyai keterpautan dengan konsepsi transisi menuju demokrasi.
I.7. 3. Teknik Analisa
Data
Teknik analisa data yang digunakan
penulis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisa kualitatif.
Dalam konteks ini sebuah keadaan transisi berusaha untuk dihubungkan sebagai
faktor yang mempengaruhi perubahan perubahan politik yang terjadi pada Era
Reformasi. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan politik yang mengacu pada
proses demokratisasi di Indonesia.
I.8. Sistematika
Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Pada
bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, Pembatasan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori dan metodologi penelitian.
BAB II: Orde Baru
Sebagai Rezim Yang Anti Demokrasi
Bab ini akan membahasa
tentang bagaimana praktek-praktek politik yang terjadi pada masa orde baru
merupakan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
BAB III: Pergolakan Politik 1998 Sebagai Masa
Transisi
Bab
ini akan membahas bagaimana gejolak politik yang terjadi pada tahun 1998
sebagai sebuah masa transisi ke pemerintahan yang selanjutnya
BAB IV: Analisa Data
Bab
ini memuat data dan analisis data yang ditemukan dari hasil penelitian yang
dilakukan, yaitu untuk menjelaskan mengenai peristiwa peristiwa politik yang
terjadi pada Era Reformasi yang menjurus kepada masa pencerahan demokrasi di
Indonesia.
BAB IV: PENUTUP
Bab ini berisikan mengenai
kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan saran-saran dari
penulis.
BAB
II
Orde
Baru Sebagai Rezim Yang Anti Demokrasi
II.1. Sejarah Singkat
Lahirnya Orde Baru
Orde baru merupakan masa
pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto. Orde Baru (Orba) lahir untuk
menggantikan masa pemerintahan yang berkuasa sebelumnya yaitu Orde Lama (Orla)
dengan Soekarno sebagai pemimpinnya. Lahirnya Orba tidak terlepas dari peranan
kelompok-kelompok diluar lingkaran penguasa yang pada saat itu tidak puas
dengan pemerintahan yang dipimpin oleh Soekarno. Soekarno dinilai terlalu asyik
memainkan politik luar negerinya yang terkenal sangat kritis dan menentang
imperialis dan cenderung melupakan kondisi perekonomian dalam negeri. Kondisi
ini membuat perekonomian dalam negeri kolaps sehingga membuat sebagian besar
rakyat hidup menderita.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh
kekuatan diluar barisan pendukung Soekarno untuk mengintip peluang menggantikan
rezim kekuasaaan yang sudah berlangsung selama dua puluh tahun tersebut.
Kekuatan Islam, Komunis dan militer merupakan pihak-pihak yang sama-sama
berhasarat untuk melengserkan kekuasaan Soekarno. Islam tetap dengan semangat
awalnya pada masa prakemerdekaan berupaya untuk menjadikan Indonesia sebagai
negara Islam, Komunis juga berusaha untuk mengkomuniskan Indonesia, sedangkan
Militer merasa mempunyai kekuatan paling ril untuk menggantikan kekuasaan Orla
yang sudah mulai roboh.
Ketegangan yang terjadi antara PKI
dan AD diawali karena pada tanggal 4 Agustus 1965 presiden Soekarno jatuh
sakit. Dengan keadaan kesehatan Soekarno yang memburuk maka muncullah spekulasi
bahwa Soekarno tidak akan lamah lagi mampu mengendalikan kekuasaan. Yang
menjadi pertanyaan besar pada saat itu adalah bagaimana jika kesehatan presiden
Soekarno semakin memburuk dan tidak dapat lagi melaksanakan tugas-tugas nya?
Ternyata keadaan ini mendapat perhatian serius baik itu dari kelompok PKI
maupun kelompok AD. Kalau saja Soekarno tiba-tiba wafat, maka konflik terbuka
antara PKI dan AD sangat sulit untuk dihindarkan.
Komunis (PKI) pada saat itu
sebenarnya merupakan keuatan yang menjalin hubungan harmonis dengan Soekarno.
Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya gaya politik bangsa Indonesia oleh
Soekarno yang disebut Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Keadaan ini
menggambarkan bagaimana Soekarno berupaya menrangkul semua golongan yang ada
termasuk golongan Islam juga. Sedangkan Militer sendiri (dalam hal ini Angkatan
Darat/AD) merupakan lembaga ketahan negara dimana Soekarno sendirilah yang
menjadi panglima tertinggi.
Pemerintahan Soekarno terkesan
baik-baik saja karena Soekarno menjalin hubungan yang baik dengan semua
golongan dengan cara merangkul semua golongan yang ada. Namun permasalahan yang
terjadi pada masa pemerinttahan ini adalah keuatan yang berada diluar Soekarno
justru mengalami perseteruan yang sangat hebat. Islam dan Komunis jelas
mempunyai pandangan yang berttolak belakang dikarenakan doktriner ajarannya
yang sangat berlawanan. Komunis dengan AD juga terlibat perseteruan karena
keduanya ingin menjadi anak kesayangan sang penguasa Soekarno. Sehingga ketika
Soekarno jatuh sakit ketiga kekuatan ini (tapi terutama PKI dan AD) menyusun
rencana untuk mengambil alih kekuasaan.
Pada tahun 1965 tepatnya pada
tanggal 30 September terjadi pergolakan politik yang berpusat pada daerah
lubang buaya. Petinggi-petinggi AD saat itu ditemukan jasadnya pada daerah lubang
buaya tersebut. AD pada saat itu jelas sangat geram melihat beberapa
petingginya tewas dengan sangat mengenaskan. Kemudian presiden menunjuk
Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat) untuk mengungkap kasus pembunuhan tersebut. Dan
kemudian Soeharto menetapkan PKI sebagai aktor tunggal dalam aksi pembuhuhan
pejabat tinggi AD tersebut. Soeharto kemudian memerintahkan penumpasan terhadap
PKI dan kroni-kroninya hingga kedaerah-daerah.
Apa yang dilakukan beberapa oknum
PKI tersebut adalah sebuah tindakan yang dilakukan untuk melakukan revolusi di
Indonesia dengan tujuan untuk merebut kekuasaan. Namun yang menjadi pertanyaan
kalo mereka ingin melakukan revolusi dengan cara kudeta, lalu mengapa tidak Soekarno
yang di bunuh tetapi petinggi AD? Bukankah pemegang kekuasaan pada saat itu
masih Soekarno? Hal ini terjadi karena PKI beranggapan bahwa AD sudah
menyiapkan strategi militer untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno yang dinilai
sudah tidak sanggup lagi menjalankan pemerintahannya. PKI kemudian melakukan
revolusi untuk mendahului aksi kudeta AD tersebut.
Kegagalan PKI melakukan revolusi
dimanfaatkan dengan baik oleh AD. AD yang dikomandoi Soeharto kemudian
memberikan image negatif terhadap PKI karena dianggap tidak berprikemanusian
karena melakukan aksi pembubuhan terhadap petinggi AD. Hal ini pun dinilai
berhasil karena semakin hari semakin banyak saja rakyat yang benci terhdap PKI
yang selama ini dinilai rakyat seering memperjuangkan kepentingan rakyat kecil.
Aksi penumpasan terhadap PKI yang dilakukan sampai ke pelosok daerah membuat
kondisi dalam negeri menjadi tidak stabil. Karena kesehatan yang memburuk dan
tidak mungkin menjalankan aktivitas pemerintahannya, Soekarno kemudia
mengeluarkan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada tahun 1966.
Adapun isi Supersemar tersebut
antara lain adalah agar Letjen Soeharto atas nama Presiden mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta
kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia, serta menjamin
keslamatan pribadi dan kewibawaan Presiden demi keutuhan bangsa dan Negara
Republik Indonesia dengan mengadakan koordinasi bersama Panglima Angkatan
lainnya.[11]
Satu hari setelah diterbitkannya Supersemar tersebut, Soeharto langsung
menandatangi Surat Keputusan Presiden/Pangti/Mandataris MPR/PBR No.1/3/1966
yaitu mengenai pembubaran PKI dan organisasi-organisai yang bernaung dan
berlindung didalmnya sebagi organisai terlarang.
Setelah diberi kekuasan dalam melakukan
terhadap penumpasan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan Gerakan 30
September, Soeharto semakin leluasa untuk mengkebiri kekuatan PKI hingga ke
pelosok-pelosok daerah. Melalui Supersemar pulahlah Soeharto membangun kharisma
dirinya sebagai penumpas terhadap unsur-unsur PKI yang dianggap telah melakukan
pemberontakan untuk mendapat simpati dari rakyat. Melalu surat itu pulahlah
Soeharto melanggengkan kekuasaan yang dimilikinya dan bertindak seolah-oleh
semua yang dilakukannya beratasnamakan Presiden/Panglima tertinggi. Supersemar
merupakan sebuah alat bagi Soeharto untuk mendapat kekuasaan tertinggi dan
mengakhiri dominasi kekuasaan Soekarno (Orde Lama) yang telah bertahan selama
dua puluh tahun.
II.2. Praktek Politik
Orde Baru
Memasuki awal
pemerintahan Orde Baru, Pemerintah mengelurkan kebijakan-kebijakan politik yang
menghasilkan beberapa perubahan dalam iklim politik di Indonesia. Pada tahun
1965, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dilarang untuk ikut ambil
bagian dalam penyelenggaran pemilu. Pada tahun 1971 Orde Baru mengeluarkan
kebijakan untuk menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal dalam setiap
organisasi massa termasuk partai politik. Pada tahun yang sama Soeharto juga
mengambil kebijakan untuk melakukan fusi partai, yaitu parpol-parpol yang
selama ini berideologi islam yang terdiri dari NU, Perti, PSII, dan Parmusi,
difusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan partai-partai
lainya yang terdiri atas PNI, Parkindo, Partindo, dan Murba memfusikan diri
menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Hal ini jelas sebagai sebuah langkah awal
dari pemerintahan Orba untuk mengkerdilkan kekuatan lawan-lawan politiknya.
Setelah membuat kebijakan-kebijakan
politik yang mengkerdilkan lawan politiknya, Orba mulai membentuk kekuatan
politik baru sebagai mesin politik untuk berkuasa. Orba kemudian menjadikan
golkar sebagai kendaraan politiknya untuk terus dapat berkuasa. Tidak hanya
menggunakan golkar sebagai alat politiknya, Soeharto juga memasukan TNI kedalam
rana politik dengan mengangkat langsung anggota TNI untuk duduk di parlemen.
Hal ini merupakan sebuah upaya dari Soeharto untuk dapat membuat kekuasaannya
semakin dominan. Dan untuk selanjutnya, Soeharto dan Golkar selalu memenagkan
perolehan suara pada setiap penyelenggaran pemilu pada masa pemerintahan Orde
Baru.
Masa pemerintahan Orba juga dikenal
sebagai pemerintahan yang milteristik. Dimana dalam setiap mengatasi pertikaian
yang terjadi di masyarakat, pemerintahan Orba selalu menggunakan militer untuk
mengatasi maslaah yang acap kali menggunakan cara yang bersifat represif.
Pelanggaran HAM dapat dilakukan terang-terangan dimanapun oleh alat negara
tanpa dapat disentuh oleh proses hukum. Praktek-praktek pelanggaran HAM yang
dilakukan negara terhadap rakyat berada dibalik demokrasi pancasila yang
diakal-akali sendiri oleh Soeharto. Kekuasaan Soeharto yang sangat dominan
hingga mendominasi kekuasaan Legislatif dan Yudikatif membuat Soeharto lepas
dari pengawasan dan sentuhan hukum, sehingga dapat melakukan tindakan apapun
yang dia suka.
Dominannya kekuasaan Soeharto pada
masa pemerintahan Orde Baru membuat dia menjadi penguasa tunggal di Indonesia.
Tak satupun kekuatan yang dapat menandinginya. Kekuatan politik diluar
pendukungnya (seperti PPP dan PDIP) tidak dapat berbuat apa-apa karena dominasi
kekuatannya yang sangat besar. Soeharto pun dapat mengambil kebijakan politik
apapun tanpa ada yang bisa mencegahnya.
II.3. Orde Baru Anti
Demokrasi
Jika kita memperhatikan
secara seksama apa yang terjadi pada rezim Orba, maka sangat bertentangan
dengan nilai-nilai fundamental dari demokrasi. Orde Baru merupakan ladangnya
pelanggaran HAM di Indonesia. Kasus pembunuhan bisa terjadi dimana-mana tanpa
ada kejelasan proses hukum yang menguaknya. Kebebasan masyarakat dalam
berpolitik juga di tentukan oleh sesuatu yang sifatnya mobilisasi bukan
partisipasi. Penguasa-penguasa sangat jauh dari tangan hukum sehingga sangat
bebas untuk mempraktekan tindakan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Rakyat yang
tidak berada dibawah barisan pendukung Soeharto juga kerap mendapat perlakuan
yang tidak adil. Asas keterbukaan juga sangat sulit untuk terwujud, karena
pemerintah sangat menutup informasi ke publik. Pemerintah hanya menyiarkan satu
stasiun televisi pemerintah yaitu TVRI dan satu stasiun radio RRI. Jadi akses
informsi masyrakat sangat terbatas dan informasi yang didapat pun sudah di
filter terlebih dahuluh oleh pemerintah.
Jika kita coba pelajari apa yang
terjadi di Orde Baru, maka praktek politik yang terjadi pada saat itu lebih mirip
kepada sebuah sistem kekuasaan yang bersifat tirani daripada apa yang dianggap
pemerintah sebagai demokrasi Pancasila. Konsep-konsep kunci dalam demokrasi
adalah pertama negara hukum, kedua kedaulatan rakyat, ketiga, kekuasaan
mayoritas dan terjaminnya hak-hak minoritas, dan keempat pembatasan kekuasaan
eksekutif[12].
Keempat konsep kuci inilah yang seharusnya diterapkan dalam negara yang
menganut paham demokrasi.
Untuk melihat demokratis atau
tidaknya pemerintahan Orba tersebut, kita harus menghubungkan keempat konsep
kunci demokrasi tersebut dengan gejala-gejala politik yang terjadi pada masa
pemerintahan Orde Baru. Indonesia memang merupakan negara hukum. Tapi pada masa
pemerintahan Soeharto hukum Indonesia hanya menggigit bagi kalangan menengah
kebawah. Tapi bagi mereka yang punya harta dan kuasa akan sangat sulit untuk
disentuh oleh hukum. Ini disebabkan karena lambaga peradilan juga telah di
kuasi oleh Soeharto. Masalah kedua adalah masalah kedaulatan rakyat. Pada masa
Orde Baru bukan kedaulatan rakyat yang terjadi, justru penindasan terhadap
rakyat.Rakyat kecil selalu menjadi korban dari tindakan represif yang dilakukan
oleh negara.
Hal ketiga adalah kekuasan mayoritas
dan terjaminnya hak-hak minoritas. Kekuasaan bukan terdapat pada golongan
mayoritas secara menyeleruh, melainkan kepda satu orang yang menguasai kelompok
mayoritas tersebut yaitu Soeharto. Seedangkan keterjaminan hak-hak minoritas
menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk diwujudkan. Dan konsep kunci terakhir
adalah pembatasan kekuasan eksekutif. Yang terjadi pada masa pemerintahan Orba
justru kekuasan eksekutif yang tidak terbatas. Semua lembaga kekuasaan negara
telah dikuasai oleh eksekutif (presiden Soeharto) sehingga dia menjadi penguasa
tunggal di negeri ini pada saat itu. Itu lah mengapa saya tadi diatas
mengatakan bahwa apa yang terjadi pada masa Orba adalah sesuatu yang anti
demokrasi dan lebih bersifat tirani.
BAB
III
Pergolakan Politik 1998 Sebagai Masa Transisi
III.1. Dari Krisis
Ekonomi ke Krisis Legitimasi
Memasuki awal tahun
1998 krisis ekonomi melanda hampir sebagian besar di negara di dunia tidak
terkecuali Indonesia. Bahkan negara-negara di Asia Tenggara menjadi negara yang
paling parah dilanda krisis ekonomi ini. Di Indonesia sendiri terjadi tingkat
inflasi yang sangat tinggi sehingga melemahkan nilai mata uang rupiah terhadap
mata uang asing. Keadaan ini membuat haarga barang-barang menjadi naik,
sehingga sulit bagi masyarakat (teritama kelas menengah kebawah) untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sehingga banyak terjadi kelaparan dimana mana.
Krisis ekonomi yang terjadi tersebut
ternyata tidak mampu diatasi oleh pemerintah. Pemerintah sepertinya telah
kehilangan langkah strategisnya untuk memulihkan perekonomian dari terpaan
badai krisis yang sangat dahsyat. Kelaparan yang terjadi dimana-mana membuat
rakyat bertindak nekat dengan menjara bahan-bahan makanan dari tokoh-tokoh
terdekat (terutama yang pemiliknay etnis keturunan). Kondisi ini membuat
situasi negara menjadi sangat kacau. Rakyat mulai gelisah dengan keadaan negara.
Bukan saja karena kondisi perekonomian yang sangat memburuk, tetapi juga alasan
keamanan yang semakin tidak terjamin.
Tindakan kejahatan dapat terjadi
dimana-mana. Ini membuat masyarakat (terutama masyarakat keturunan) menjadi
sangat takut untuk keluar rumah. Hal ini menyebabkan kondisi negara menjadi
tidak stabil. Rakyat pun mulai mempertanayakan peran negara dalam mengatasi
masalah yang semakin kacau. Rakayat sepertinya mulai ragu akan kemampuan negara
untuk mengatasi krisis dan mengatasi masalah kestabilitasan negara. Rakyat
mulai tidak menaruh harapannya kepada negara untuk menyelesaikan masalah yang
mereka hadapi, sehingga mereka berusaha untuk mnyelesaikan masalah mereka
sendiri. Saling rebut-merebut makanan pun terus terjadi, tidak ada lagi yang dapat
menjamin kesalmatan rakyat karena negara sudah dalam keadaan kacau.
Ketidakmampuan negara/pemerintahan
Orde Baru dalam mengatasi krisis telah mengkis keprcayan masyarakat terhadap
negara. Negara dinilai telah gagal dalam mensejahterahkan rakyatnya. Dan rakyat
pun mulai melakukan aksi-aksinya sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap
negara. Kepercayaan rakyat kepada negara pun semakin hari semakin menipis. Dan
negara/pemerintah Orba pun mulai kehilangan legitimasi dari rakayat Indonesia.
III.2. Pergolakan
Melawan Kekuasaan
Krisis legitimasi yang
melanda pemerintahan Orba membuat rakyat Indonesia mulai melakukan pergolakan
untuk melawan rezim penguasa. Aksi masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa
mulai terjadi dimana-mana. Aksi dilakukan untuk menuntut mundur penguasa Orde
Baru Soeharto karena dinilai telah gagal dalam mengatasi masalah krisis ekonomi
yang melanda Indonesia. Namun pergolakan yang dilakukan juga tidak berjalan
dengan mulus. Sadar kekuasaannya mulai di guncang, Soeharto kemudian memerintahkan
militer untuk menghadang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat tersebut.
Bahkan militer tidak segan-segan untuk melakukan tindakan represif yang
berujung pada kematian di kalangan demonstran.
Jatuhnya korban pada pihak
demosntran tidak membuat nyali masyarakat menjadi ciut, tetapi justru melecut
semangat para demostran untuk terus melakukan aksi demi sebuah cita-cita yang
mulia yaitu Indonesia baru tanpa Orba. Pergolakan tidak hanya dilakaukan oleh
kelompok mahasiswa dan rakayat saja, melainkan juga dikalangan politisi yang
berada dalam gerbong oposisi. Kekuatan politik di luar rezim penguasa seperti
kelompok Islam NU(Abdurahman wahid), Muhamadiyah (Amien Rais) dan Kelompok
Nasionalis (megawati) juga ikut melakukan pergolakan menentang rezim penguasa.
Tokoh-tokoh masyarakat juga ikut menyatakan untuk melakukan pergolakan melawan
kekuasaan Orde Baru. Situasi ini membuat rezim Orde Baru semakin terdesak.
Dukungan masa yang begitu kuat untuk
melakukan pergolakan membuat oknum-oknum yang semulaahnya berada dilingkaran
kekuasaan mulai berbalik untuk ikut bergabung melengserkan kekuasaan Soeharto.
Desakan yang terus menerus dilakukan masa telah membuat sebagian pendukung
Soeharto mulai meletakan loyalitas mereka selama ini. Hal ini ditandai dengan
mengundur dirikannya sepuluh menteri dalam kabinet pemerintahan pada saat itu. Beberapa
tokoh sentral partai golkar yang selama ini loyal terhadap Soeharto juga sudah
mulai menarik dukungannya. Kali ini tekanan yang didapatkan Soeharto tidak
hanya berasal dari luar, melainkan dari dalam lingkaran kekuasaannya sendiri.
Kondisi ini membuat Soeharto benar-benar tersudut.
Posisi Soeharto pada saat itu sudanh
sangat terjepit karena mendapat tekanan baik dari dalam maupun dari luar.
Kekuatan militer yang selama ini digunakan untuk melawan rakyat juga mulai
kekurangan kekuatan karena menghadapi banyaknya jumlah rakyat yang turun dalam
aksi demonstrasi. Pembangkangan juga terjadi di kubu militer dengan
mengundurdirikannya Pangksotrad pada
saat itu yaitu Prabowo yang notabene adalah menantu dari Soeharto itu sendiri.
Kondisi ini benar-benar membuat Soeharto mulai kehilangan kekuasaan karena
ditinggalkan oleh orang-orang yang selama ini setia mendukungnya,
Pergolakan yang dilakukan rakyat
akhirnya tidak dapat terbendung lagi. Mahasiswa berhasil menduduki kantor MPR,
dan suara-suara untuk meminta Soeharto mundur pun mulai lantang terdengar.
Karena telah kehilangan pendukungnya, maka Soeharto pun kemudian menyatakan
mengundurkan diri dari jabatnnya sebagai Presiden Republik Indonesia di hadapan
anggota MPR. Mahasiswa yang berada diluar gedung MPR, yang menyaksikan
pembacaan pidato pengunduran diri tersebut lewat layar televisi menyambut
dengan tepuk tangan yang meriah. Kekuasaan Soeharto sebagai presiden pun
berakhir sudah.
Setelah Soeharto mengundurkan diri,
maka sesuai dengan konstitusi pada saat itu posisi Soeharto sebagai Presiden
akan digantikan oleh Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden.
Keadaan ini membuat pergolakan massa terus berlanjut. Para demostran
menginginkan rezim Orde Baru benar-benar harus lengser sampai kroni-kroninya. [13]Habbie
merupakan tangan kanan Soeharto, jadi rakyat kembali melakukan aksinya untuk
melengserkan Habibie dari kursi presiden. Konsolidasi pun mulai dibangun
diantara para demostran, tokoh oposisi dan tokoh masyarakat. Rakyat kemudian
menuntut untuk dilakukan pemilihan umum yang demokratis untuk selanjutnya
memilih anngota DPR dan Presiden serta Wakil Presiden yang baru.
III.3. Memasuki Masa
Transisi
Setelah kekuasan Orde
Baru berakhir maka dunia perpolitikan di Indonesia memasuki babak yang baru.
Tidak ada yang bisa menjamin kelompok mana yang akan menjadi penguasa
selanjutnya. Kelompok oposisi memang menjadi kelompok yang paling berpeluang
untuk menjadi penguasa selanjutnya. Tapi tidak tertutu kemungkinan bahwa
kelompok pemerintah sebelumnya juga dapat merebut kembali kekuasaannya. Ini
disebabkan karena pada saat seperti ini Indonesia memasuki masa transisi dimana
sebuah Era Politik (Orde Baru) telah berakhir dan Era selanjutnya akan
datang. Namun seperti apa Era
selanjutnya tersebut masih menjadi sebuah misteri. Sesuai apa yang di utarakan
oleh Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter bahwa masa transisi mengara
kepada sebuah ketidakpastian.
Untuk menentukan rezim penguasa pada
masa selanjutnya, maka pada tahun 1999 diselenggarakanlah pemilihan umum.
Pemilihan umum kali ini tidak hanya diikuti oleh tiga kontestan yang menjadi
peserta dalam pemilu pada masa Orba melainkan berkembang menjadi 48 peserta
partai politik. Banyaknya jumlah parpol yang berpartisipasi dalam pemilu juga
diakibatkan karena pasca Orba pemerintah memberi kebebasan kepada masyarakat
untuk mendirikan partai politik sebagai manifestasi dari kebebasan berserikat
yang juga dijunjung oleh paham demokrasi. Pemilu ini kemudian menjadikan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang dalam pemilu tersebut.
Sedangkan dalam pemilihan presiden yang dilakukan anggota DPR/MPR Abdurahman
Wahid berhasil keluar sebagai peraih suara terbanyak disusul oleh Megawati
Soekarno putri. Dengan hasil ini maka Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarno
Putri ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pasca runtuhnya kekuasaan
Orde Baru.
Ternyata benar apa yang dikatakan
oleh Guillermo O’Donnell dan Philippe Schmitter bahwa masa transisi adalah
sebuah rangkaian kemungkinan dan ketidakpastian. Abdurahman Wahid atau yang
akrab di panggil Gusdur juga harus lengser di tengah-tengah masa jabatannya.
Gusdur yang sesuai dengan konstitusi seharusnya memiliki masa jabatan sebagai
presiden selama lima tahun akhirnya ditengah jalan mendapat tekanan dari
parlemen dan diberhentikan melalui Sidang Istimewa MPR. Pertanggungjawaban
Gusdur sebagai Presiden tidak diterima oleh sebagian besar anggota MPR sehingga
Gusdur diberhentikan secara paksa oleh parlemen.
Sebagai penggantinya Megawati yang
semula menjabat sebagai wakil presiden kemudian diangkat menjadi presiden
menggantikan gusdur. Megawati menggantikan Gusdur untuk melanjutkan masa
pemerintahan presiden yang berasal dari Partai Kebangkitan bangsa tersebut.
Masa pemerintahan Gusdur yang begitu cepat membuktikan bahwa Indonesia pada
saat itu masih berada dalam proses transisi untuk memasuki format politik yang
baru.
BAB
IV
Analisa
Data
IV.1. Iklim Demokrasi Pada Awal Era Reformasi
Memasuki Era Reformasi,
Iklim demokrasi mulai terasa dalam dunia politik di Indonesia. Pemerintah
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membentuk partai-partai
politik. Kebijakan ini sangat selaras dengan apa yang menjadi nilai-nilai
fundamental dalam demokrasi yaitu asas kebebasan, keadilan dan persamaan
(egaliter). Kebebasan yaitu rakayat diberi kebebasan untuk berserikat dengan
cara membentuk partai politik baru. Hal ini tidak dapat kita temui pada Orde
Baru yang membatasi jumlah partai politik hanya tiga partai saja. Dengan
dibukanya akses untuk membentuk partai politik secara bebas, maka masyarakat
tidak lagi merasa terkekang dalam menentukan pilihan politiknya yang selama ini
dialami masyarakat pada masa pemerintahan Soeharto.
Iklim demokrasi juga dapat dirasakan
dengan diamandemenya undang-undang dasar 1945 sebanyak emapat kali pasca
runtuhnya Orba. Amandemen yang dilakukan berkutat pada pembatasan kekuasaan
presiden supaya tidak terlalu dominan. Hal ini diperlukan supaya pemerintahan
seperti Orde Baru tidak terulang lagi di indonesia. Undang-Undang Dasar 1945
mengatur bahwa masa pemerintahan Presiden berlangsung paling lama hanya dua
periode dimana masa satu periodenya selama lima tahun. Ini untuk menghindari
terjadinya rezim tirani yang selama ini dipraktekan oleh Soeharto.
Satu hal lagi yang dapat dirasakan
dari iklim demokrasi diawal Era Reformasi adalah dengan kembalinya militer ke
barak. Dwi Fungsi ABRI yang selama ini dijunjung dalam Orde Baru seketika
dihapuskan karena tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Militer merupakan
alat negara yang bertugas menjaga ketahan nasional dan tidak memiliki kedudukan
dalam politik. Hal ini dilakaukan untuk mencegah militerisasi yang selama ini
dipraktekan oleh rezim Orde Baru. Sehingga fungsi militer seutuhnya
tercuraahkan pada masalah ketahanan negara dan tidak ada lagi menyangkut
kepersoalan politik.
Beberapa hal diatas merupakan
perubahan-perubahan yang terjadi diawal Era Reformasi yang berkaitan dengan
proses demokratisasi di Indonesia. Transisi politik dari Orde Baru ke Era
Reformasi telah membuka keran demokratisasi di Indonesia yang selama ini
disumbat oleh rezim pemerintahan Orde Baru.
IV.2. Dari Transisi
Politik Menuju ke Transisi Demokrasi
Pergolakan yang terjadi
di ujung masa pemerintahan Orde Baru telah membawa arus politik di Indonesia
memasuki masa transisi. Indonesia mengalami situasi politik yang tidak menentu
dan selalu berubah-ubah. Transisi ini kemudian menunjukan kearah perubahan yang
lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari terciptanya nuansa-nuansa yang lebih
demokratis pada era reformasi ini. Masyarakat tidak lagi dibatasi dalam hal
kebebasan untuk berpartisipasi dalam bidang politik. Kebebasan untuk membentuk
paartai politik membuat masyarakat lebih leluasa untuk menyampaikan aspirasi
poltiiknya melalui partai yang menjadi pilih poltiik dari masyarakat tersebut.
Masa transisi politik yang dialami
Indonesia ternayat membawa angin segar bagi proses demokratisasi di negara
agraria ini. Praktek-praktek politik yang selama ini tidak pernah di lakukan
pada masa Orde Baru mulai kelihatan pada Era Reformasi. Reformasi politik pada
tahun 1998 tersebut benar-benar telah mereformasi sendi-sendi politik banaagsa
Indonesia. Tidak ada lagi kekuasaan yang terlalu dominan pada salah satu
lemabag negara (seperti yang terjadi pada Orba dimana Eksekutif menjadi sangat
dominan bagi lembaga-lembaga kekuasaan negara lainnya.
Proses transisi politik yang menuju
tansisi demokrasi di Indonesia bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Dalam
sebuah proses transisi menuju demokrasi, diperlukan adanya tahapan-tahapan
politik yang secara berkala akan mengarah kepada sebuah proses demokratisasi
yang utuh. Tahapan pertama adalah memperlemah rezim otoriter. Rezim otoriter
yang lemah akan mengurangi legitimasi pada pemerintahan. Pada masa Orde Baru
krisis legitimasi bermula dari ketidak mampuan pemerintah Orba dalam mengatasi
krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Inilah yang kemudian membuat keraguan
masyarakat terhadap pemerintah sehingga kekuatan pemerintah otoriter tersebut
menjadi berkurang. Kondisi ini dibutuhkan sebagai langkah awal terguncangnya
kekuasaan otoriter karena mulai meragukan masyarakat untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang terjadi ditenagah-tengah masyarakat.
Tahapan yang kedua adalah
menegosisikan. Yaitu bagaimana kekuatan yang berada diluar pemerintah otoriter
tersebut mampu bernegosiasi untuk menyataukan kekuatan. Hal ini dibutuhkan
untuk mengimbangi kekuasaan pemerintahan otoriter yang begitu dominan. Dominasi
keuasaan pemerintah juga harus diimbangi dengan kekuatan yang kontra terhadap
pemerintahan tersebut, karena jika tidak kekuatan yang berada diluar pemerintah
akan dengan muda dapat dikebiri oleh pemerintah. Dalam orde baru kekuatan
soeharto begitu dominan. Namun berkat negosiasi yang dilakukan elemen-elemen
yang berada diluar lingkaran kekuasaan, diantaranya kelompok oposisi, tokoh
masyarakat, mahasiswa dan dukungan rakayat Indonesia maka kekuasaan
pemerintahan Orde Baru yang begitu domnian pun pada akhirnya dapat digoyang
juga.
Tahapan yang ketiga adalah
membangkitkan kembali masyarakat sipil dan restrukturisasi. Dalam sebuah proses
tansisi sangat diperlukan peran serata dari masyarakat civi atau yang biasa
disebut sebagai “civil society”.
Civil society merupakan struktur dalam masyarakat yang bersifat kritis dan
aktif terhadap isu-isu politik yang terjadi dalam sebuah negara. Pada masa Orde
Baru, peranan civil society dimainkan oleh mahasiswa. Dimana dengan militansi
dan daya kritisnya mahasiswa melakukan aksi-aksi untuk mengkritisi pemerintahan
Orde Baru yang dikenal sangat otoriter.
Tahapan keempat adalah
menyelenggarakan pemilu. Pemilu adalah sebuah tahapan yang demokratis untuk
memilih pemimpin negara dan wakil-wakil rakyat. Ketiga tahapan sebelumnya
merupakan tahapan persiapan untuk melakukan transisi tersebut. Sedangkan
tahapan keempat inilah tahapan penentu apakah sebuah transisi tersebut
mempunyai kesempatan untuk terjadi. Dalam kasus di Indonesia, setelah Soeharto
mengundurkan diri dan Habibie diberhentikan dalam Sidang Istimewa MPR, maka di
lakaukan pemilihan umum yang diselenggarakan secara demokratis. Dalam kasus
diatas jika kelompok yang selama ini berada diluar lingkaran kekuasaan yang
menang, maka masih ada kemungkinan terjadi tarnsisi menuju demokrasi, namun
apabila yang memenangkan rezim tersebut adalah kelompok kekuasaan sebelumnya
maka rezim politik yang otoriter dapat terus berlanjut.
Keempat tahapan ini lah yang akan
dilalui sebuah negara dalam transisi menuju demokrasi. Tahapan-tahapan diatas
merupakan sesuatu yang saling berkaitan satu sama lainnya. Setiap tahapannya
mempunyai problem masing-masing yang harus dihadapi oleh sebuah negara yang
sedang mengalami transisi menuju demokrasi. Transisi menuju demokrasi
memerlukan proses yang sangat panjang. Hal ini disebabkan karena rezim yang
harus digulingkan sebelumnya adalah rezim otoriter yang mempunyai kekuatan
poltiik yang dominan. Jadi untuk mengakhiri dominasi rezim otoriter tersebut dibutuhkan
perencanaan yang matang dan membutuhkan waktu yang tidak singkat.
IV.3. Mencari Pola
Transisi Di indonesia
Transisi menuju
demokrasi yang terjadi di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi
pembangunan demokrasi di Indonesia. Seperti yang diutarakan pada bab sebelumnya
bahwa terdapat empat pola tansisi menuju demokrasi. Adapun tansisi yang terjadi
di Indonesia merupakan sebuah pola yang berbentuk replacement. Bentuk
adalah sebuah proses menuju demokrasi dimana kelompok oposisi memimpin
perjuangan untuk mewujudkan demokrasi dengan cara menggulingkan pemerintahan
sebelumnya. Namun apa yang dimaksud dengan kata menggulingkan tidak harus
bermakna sebagai sebuah usaha kudeta politik.
Tansisi yang terjadi di Indonesia
sangat mirip dengan pola yang dijelaskan diatas. Dimana perjuangan mewujudkan
demokrasi di rintis oleh kelompok oposisi yang berjuang melawan dominasi
pemerintahan otoriter Soeharto pada saat itu. Kelompok oposisi yang dimaksud
dalam hal ini bukanlah hanya kelompok oposisi dalam kategori elit yang
menempatkan diri di parlemen. Melainkan semua pihak yang berada diluar keuasaan
pemerintahan Soeharto pada saat itu. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan
oposisi dalam kondisi ini juga termasuk mahasiswa, tokoh masyarakat dan seluruh
rakyat indonesia yang ikut melawan rezim otoriter Orde Baru.
Pola replecement ini tidak lah harus
memutus kelompok rezim yang berkuasa yang sebelumnya. Pola pergantian rezim
kekuasaan sebisa mungkin diselesaikan dengan cara sedemokratis mungkin. Hal ini
bertujuan agar tidak terjadi pertikaian yang besar antara kelompok pendukung
pemerintah dan kelompok oposisi. Seperti halnya pada Era reformsai dimana
pemerintahan pada saat itu tidak membubarkan golkar, sekalipun golkar adalah
partai yang melanggengkan kekuasaan Soeharto selama masa pemerintahan Orde
Baru.
BAB
V
Penutup
V.1. Kesimpulan
Dari uraian-uraian pada
bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak memasuki Era Reformasi
kondisi perpolitikan di Indonesia semakin mengarah ke alam demokratisasi. Hal
tersebut dapat dilihat dari diterapkannya beberapa tahapan-tahapan demokratis
selama bergulirnya Era Reformasi. Diselenggarakannya pemilihan umum secara
langsung dan bebas untuk pertama kali pada tahun 1999 merupakan sebuah kemajuan
bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Pada pemilihan ini partai politik juga
mengalami jumlah peningkatan yang sangat signifikan karena telah dijaminya
kebebasan berserikat dalam bidang politik.
Banyak kalangan dari luar negeri
melihat bahwa keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Pemilu yang demokratis
pasca diterjang badai resesi global merupakan sebuah langkah awal kebangkitan.
Pemilu pada tahun 1999 yang di ikuti oleh 48 partai juga mendapat sambutan dari
tingginya tingkat partisipasi masyarakat pada saaat itu. Kebebasan dalam hal
berserikat secara politik dibuktikan dengan banyak paartai yang ikut serta
dalam pemilu. Bahkan PDIP sebagai partai baru pada saat itu mempu menjadi
peraih suara terbanya dan disusul oleh golkar.
Pada tahun 2004 merupakan tonggak
sejarah dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Pada tahun tersebut diadakan
pemilihan presiden yang langsung dipilih oleh rakyat. Pemilihan presiden secara
langsung tersebut merupakan yang pertama kali di Indonesia. Pemilihan presiden
secara langsung ini juga semakin menguatkan proses demokratisasi di Indonesia.
Karena setiap pemilih mempunyai kesempatan untuk memilih presidennya secara
langsung tanpa harus diwakili oleh parlemen. Ini merupakan sebuah kemajuan
dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.
Rezim pemerintahan Orde Baru yang
sebelumnya bertindak sangat otoriter secara perlahan telah berubah kearah
pemerintahan yang lebih demokratis. Perubahan-perubahan ini dapat dilihat dari
struktur politik yang ada, ataupun penerapnnya dalam proses-proses politik yang
berlangsung. Perubahan yang terjadi tersebut mengarah kepada perubahaan ke arah
demokratisasi. Iklim demokrasi mulai dapat dirasakan secara bebas. Beda dengan
pemreintahan Orde Baru yang cenderung mengekang hak-hak masyarakat dalam bidang
politik, Era Reformasi justru memberika kebebasan.
Di Era Reformasi kebasan pers juga
lebih ditingkatkan. Surat kabar mendapatkan izin terbit sedangkan radio dan
stasiun Televisi mendapat izin siar dari pemerintah. Dan negara tidak berhak
untuk campur tangan dalam pers. Hal ini lah yang menandai kebebasan pers di
indonesia. Dengan kata lain, sejak memasuki era reformasi, maka perjalanan
proses politik di Indonesia mengarah kepada sebuah keadaan transisi menuju
demokrasi.
IV.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas,
maka yang menjadi saran penulis adalah:
Ø Proses
transisi menuju demokrasi di Indonesia harus terus dikembangakan kearah yang
lebih di baik. Hal ini diperlukan demi menciptakan sistem peemerintahan yang
lebih baik. Sehingga apa yang menjadi aspirasi rakyat dapat diakomodir oleh
negara.
Ø Untuk
mengembangkan demokratisasi di Indonesia diperlukan perubahan-perubahan pada
konstitusi dalam hal menentukan presiden/pemimpin negara yang akan dipilihnya.
Selama ini demokrasi hanya menjamin partai politik sebagai lembaga yang berhak
melakukan rekrutmen terhadap calon presiden. Kondisi ini sebenarnya mengurangi
makna dimana rakyat yang menetukan pemimpinnya sendiri. Karena sebelum dipilih
oleh rakyat, calon presiden adalah hasil pilihan partai terlebih dahuluh. Jadi
jelas bahwa calon presiden yang dipilih oleh rakyat adalah calon dari parpol
yang selanjutnya menjadi pilihan bagi rakyat secara menyeluruh. Untuk mengatsi
maslah ini, menurut saya diperlukan adanya penyalonan dari jalur Independent,
sehingga dari awal rakyat dapat menetukan siapa calon presiden yang akan dia
pilih.
Ø Masyarakat
indonesia mayoritas memiliki pendidikan politik yang rendah. Hal ini dapat
dibuktikan dengan tingginya tingkat apatisisme rakyat Indonesia terhadap
politik dan maraknya terjadi money politik dalam setiap penyelenggaraan
politik. Dalam negara demokrasi parpol lah yang seharusnya bertugas melakukan
pendidikan politik terhadap rakyatnya. Namun parpol di indonesia cenderung
melakukan kegiatan hanya menjelang pemilu saja, jadi proses pendidikan politik
tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal. Pemerintah seharusnya membentuk badan
independen yang secara khusus bertugas melakukan pendidikan politik terhadap
masyarakat.
Ø Diperlukan
adanya pengawasan yang ketat dalam setiap pelaksanaan pemilu. Hampir disetiap
diselenggarakan pemilu terdapat aksi money politik yang dilakaukan kandidat
ataupun partai politik untuk membeli hak suara warga dengan menukarnya dengan
uang. Ada lagi kasus suap kepada lembaga penyelenggara ataupun pengawas pemilu.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan dapat menciderahi demokrasi di
Indonesia. Untuk itu aspek pengawasan dalam setiap penyelenggaraan pemilu harus
terus ditingkatkan. Lembaga peradilan yang berwenang atas setiap pelanggaran
yang dilakukan juga harus bertindak secara profesional. Setiap oknum yang
melakukan pelanggaran harus ditindak dengan tegas. Hal ini diperlukan agar
memberikan efek zera dan mampu meningkatkan kualitas pemilu pada
penyelenggaraan selanjutnya.
Daftar Pustaka
Budiman,
Arief, Pergolakan Melawan Kekuasaan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999.
Dahl,
Robert, Analisa Politik Modern,
Jakarta: Bumi Akasara, 1991.
__________ Dilema
Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta: Rajawali Pers,
1985.
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press,
1980.
Hermawan, Eman, Politik Membela yang Benar: Teori, Kritik
& Nalar, Yogyakarta: KLIK, 2001
Lipset, Martin, Political Man: Basis Sosial dan Politik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Meyer, Thomas, Demokrasi: Sebuah Pengantar Untuk Penerapan,
Jakarta: FES, 2002.
O’Donnell & C.
Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi,
Jakarta: LP3ES, 11993.
Ramanathan,
K, Konsep dan Asas Politik, Pulau
Pinang: ALMS Digital, 1988.
Pusat
Sejarah dan Tradisi ABRI, Bahaya Laten
Komunisme di Indonesia, Jilid I, Jakarta, 1991.
Sabine, Teori-Teori Politik, Bandung:
Dwhiwantara, 1963.
Schmid,
Von, Ahli-Ahli Besar Tentang Negara dan
Hukum, Jakarta: Pembangunan, 1984.
Soltau,
R.H, Ilmu Politik, Jakarta, 1977.
Sulastomo,
Demokrasi atau Democrazy, Jakarta:
Rajawali Pers, 2001.
Treanor,
Paul, Kebohongan Demokrasi, Yogyakarta:
Istawa, 2001.
[1] Christoph Schuck, Demokrasi di
Indonesia: Teori&Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010, Hal.76.
[2] Ibid, Hal. 77.
[3] Guillermo O’ Donnell & Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan ketidakpastian, Jakarta:
LP3ES. 1993, Hal. 1.
[4] Ibid, Hal. 7.
[5] G.H. Sabine, Teori-Teori
politik: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Bandung: Dhiwantara.1963,
Hal. 7.
[6] J. J. Von Schmid, Ahli-Ahli
Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta: Pusataka Sarjana. 1965, Hal.
31.
[7] Mohammad Hatta, Alam Pikiran
Yunani, Indonesia: UI Press: 1980, Hal. 119
[8] K. Ramanhatan, Konsep Asas
Politik, Pulau Pinang: ALMS Digitasl. 1988, Hal. 20.
[9] Ibid, Hal. 21
[10] Sulastomo, Demokrasi atau
Democrazy, Jakarta: Rajawali Pers. 2001, Hal. 42.
[11] Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,
Jakarta,1994, hal. 139.
[12] Eman Hermawan, Politik Membela
Yang Benar, Yogyakarta: KLIK. 2001, Hal. 49.
[13] Arief Budiman, Pergolakan
Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Aksi Politik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999, Hal. 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar